AlMaududi mengajukan rumusan baru mengenai arti demokrasi yang dipersepsi oleh Barat selama ini. Bagi dia tidak seorangpun yang dapat mengklaim, memiliki kedaulatan. Pemilik kedaulatan yang sebenarnya adalah Allah dan selain Dia adalah hamba-Nya. Atas dasar itu, dia mengajukan istilah “theodemokrasi”, yaitu suatu pemerintahan demokrasi Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana demokrasi dalan tinjauan Islam khususnya dalam kajian tafsir maudhu'i. Dengan menggunakan pendekatan studi pustaka library research, artikel ini berusaha mempertemukan antara konsep Islam yang oleh sebagian ulama dikatakan mempunyai sistem politik tersendiri yang lengkap, sempurna dan menyeluruh, namun disatu sisi dihadapkan pada kenyataan seolah sistem demokrasi yang saat ini dianggap sebagai sistem politik terbaik, diterima dan dipakai di seluruh dunia. Secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global tidak sepenuhnya disetujui para ulama dan masih menjadi perdebatan yang panjang. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajaran Islam itu adalah as-syura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas dalam sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah syumuliyatul Islam dan demokrasi hanyalah sebagian kecil dari lengkapnya sistem politik Islam yang sempurna dan telah dipraktikkan namun tebum terteorikan. Abstract This article aims to analyze how democracy in Islamic views, especially in the study of tafsir maudhu'i. By using a library research approach, this article seeks to bring together the concept of Islam which is said by some scholars to have its own complete, perfect and comprehensive political system, but on the one hand it is faced with the reality as if the democratic system is currently considered the best political system. , accepted and used throughout the world. In doctrinaire normative terms, in Islamic teachings there are principles and elements in democracy, although generically, globally it is not fully approved by the scholars and is still a long debate. The principles and elements of democracy in Islamic teachings are as-shura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah and al-hurriyyah. The reality in a country that was applied at the time of Prophet Muhammad and khulafaurrasyidin is syumuliyatul Islam and democracy is only a small part of the complete Islamic political system that is perfect and has been practiced but can be theoretical. Pendahuluan Wacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi 'juru selamat' bagi ketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan represif. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Demokrasi Dalam Islam Tinjauan Tafsir Maudhu’ Achmad Zulham dan SolihinPascasarjana Prodi IQT Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Raden FatahPalembang. Email Kajian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana demokrasi dalan tinjauanIslam khususnya dalam kajian tafsir maudhu’i. Dengan menggunakan pendekatan studipustaka library research, artikel ini berusaha mempertemukan antara konsep Islamyang oleh sebagian ulama dikatakan mempunyai sistem politik tersendiri yang lengkap,sempurna dan menyeluruh, namun disatu sisi dihadapkan pada kenyataan seolah sistemdemokrasi yang saat ini dianggap sebagai sistem politik terbaik, diterima dan dipakai diseluruh dunia. Secara normatif doktriner, dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsipdan elemen dalam demokrasi, meskipun secara generik, global tidak sepenuhnyadisetujui para ulama dan masih menjadi perdebatan yang panjang. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajaran Islam itu adalah as-syura, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas dalam sebuah negara pernah diterapkan padamasa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin adalah syumuliyatul Islam dan demokrasihanyalah sebagian kecil dari lengkapnya sistem politik Islam yang sempurna dan telahdipraktikkan namun tebum terteorikan. Kata kunci Demokrasi Islam, Tafsir Maudhu’i Abstract This article aims to analyze how democracy in Islamic views, especially in thestudy of tafsir maudhu'i. By using a library research approach, this article seeks to bringtogether the concept of Islam which is said by some scholars to have its own complete,perfect and comprehensive political system, but on the one hand it is faced with thereality as if the democratic system is currently considered the best political system. ,accepted and used throughout the world. In doctrinaire normative terms, in Islamicteachings there are principles and elements in democracy, although generically, globallyit is not fully approved by the scholars and is still a long debate. The principles andelements of democracy in Islamic teachings are as-shura, al-'adalah, al-amanah, al-masuliyyah and al-hurriyyah. The reality in a country that was applied at the time ofProphet Muhammad and khulafaurrasyidin is syumuliyatul Islam and democracy is onlya small part of the complete Islamic political system that is perfect and has beenpracticed but can be Islamic Democrazy, Tafsir Maudhu’iPendahuluanWacana demokrasi terus bergulir, ia pun seakan menjadi juru selamat’ bagiketidakberdayaan rakyat yang tereksploitasi oleh rezim yang totaliter dan Demokrasi tidak hanya menjadi wacana akademis, tetapi juga simbol dari sebuah sistempemerintahan, termasuk ketika terjadi tragedi kemanusiaan yang menimpa gedungkembar WTC dan Pentagon, 11 September 2001 lalu. Menurut presiden George W. Bush,tragedi tersebut dianggap sebagai upaya penghancuran demokrasi. Karena iamenganggap bahwa Amerika-lah representasi negara demokrasi di dunia. Dengandemikian, siapa pun yang mencoba mengganggu dan apalagi berani menghancurkanAmerika, berarti mereka penentang demokrasi yang harus dilawan dan dibasmi. Tanpademokrasi memang, suatu rezim sekuat apa pun sulit untuk memperoleh legitimasi darirakyat, bila hal ini terjadi maka sebuah negara tak akan mampu menggerakkan rodapemerintahannya. Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia,partisipasi dalam pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sinikemudian muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite persamaan, equalitykeadilan, liberty kebebasan, human right hak asasi manusia dan seterusnya. Dalamtradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadipemerintah’ bagi dirinya sendiri, dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yangbertanggung jawab atas tugasnya. Karena alasan inilah maka lembaga legislatif di duniaBarat menganggap sebagai pioner dan garda terdepan demokrasi. Lembaga legislatifbenar-benar menjadi wakil rakyat dan berfungsi sebagai agen rakyat yang aspiratif dandistributif. Keberadaan wakil rakyat didasarkan atas pertimbangan, bahwa tidak mungkinsemua rakyat dalam suatu negara mengambil keputusan karena jumlahnya yang terlalubesar. Oleh sebab itu kemudian dibentuk dewan perwakilan. Di sini lantas prinsipamanah dan tanggung jawab credible and accountable menjadi keharusan bagi setiapanggota dewan. Sehingga jika ada tindakan pemerintah yang cenderung mengabaikanhak-hak sipil dan hak politik rakyat, maka harus segera ditegur. Itulah perlunyaperwakilan rakyat yang kuat untuk menjadi penyeimbang dan kontrol pemerintah. Dalam pandangan Islam sebagai agama yang lengkap dan sempurna, meletakkandemokrasi hanyalah sebuah sebuah sistem ciptaan manusia, yang menjadi bagian kecildari lengkapnya dan luasnya sistem Islam. Jika sesuai dengan nilai-nilai Islam maka itubagian yang ada dann telah diajarkan Islam dan silahkan diambil dan Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam, maka sesungguhnya Islam telahmempunyai dan menawarkan pilihan-pilihan yang lebih Terminologi DemokrasiAda banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, diantaranya seperti yang dikutip Hamidah2 adalah sebagaimana di bawah ini MenurutJoseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapaikeputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam EncyclopaediaAmericana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan di manakeputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakanmereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsungmelalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih. 4 Dari tiga definisitersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-nilai, yaitu adanyaunsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitunilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilaipokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musyawarah dan keadilan. Kebebasanartinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbanganantara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari NurcholishMajid, seperti yang dikutip Nasaruddin 6mengatakan, bahwa suatu negara disebutdemokratis sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia HAM, antara lain1 Razzaq, A. 2017. Dakwah dan Pemikiran Politik Islam Kajian Teoritis dan NoerFikri Hamidah, Tutik, “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah El-Harakah,No. 52 Tahun 1999. XVIII, hal. 33. 3 Hamidah, Tutik,”Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah el-Harakah,… Hamidah, Hamidah, Tutik,”Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam Majalah el-Harakah,… Zainuddin.. “Islam Tak Kompatibel Dengan Demokrasi?” dalam Jaringan Islam Liberal, JawaPos, 10 Februari. 20026 Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis” dalam JurnalKomunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 12002. Hal. 36. 3 kebebasan menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasimenolak dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi,hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkanberdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia HAM. Demokrasi Dalam Perspektif Tafsir Mau’dhu’iDi dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsiputama demokrasi, antara lain QS. Ali Imran 159 dan al-Syura 38 yang berbicaratentang musyawarah; al-Maidah 8; al-Syura 15 tentang keadilan; al-Hujurat 13tentang persamaan; al-Nisa’ 58 tentang amanah; Ali Imran 104 tentang kebebasanmengkritik; al-Nisa’ 59, 83 dan al-Syuro 38 tentang kebebasan berpendapat Jikadilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin, agama dan demokrasi memangberbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumpulanpemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namunbegitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengandemokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasidalam perspektif Islam meliputi as-syura, al-musawah, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-masing dari elementersebut? As-SyuraSyura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan yang secaraeksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura 38“Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam suratAli Imran159 dinyatakan “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksanasyura adalah ahl halli wa-laqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebihmenyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah, jelaslahbahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawabbersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka setiapkeputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang7 Umar, Nasaruddin. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis” dalam JurnalKomunikasi Perguruan Tinggi Islam, hal. 36 dan lihat al-Mu’jam al-Mufahras li alfaz al-Qur’an al-Karim4 lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitupentingnya arti musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupunbernegara, sehingga Nabi sendiri juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya. Al-Adalahal-adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasukrekrutmen dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil danbijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalamsebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antaralain dalam surat an-Nahl 90 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil danberbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji,kemungkaran dan permusuhan”. Lihat pula, QS. as-Syura15; al-Maidah8; An-Nisa’58dst.. Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpapandang bulu ini, banyak ditegaskan dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali punharus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, ,bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggarpasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada ungkapanyang “ekstrem” berbunyi “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara yang mengatasnamakanIslam”9 Al-Musawah al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasalebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidakbisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemonipenguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan8 Lihat Aswab Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta,Gramedia. 1999, hal. 30. Lihat juga Haryono, A., & Razzaq, A. 2017. Analisis Metode Tafsir MuhammadAsh-Shabuni dalam Kitab rawâiu’ al-Bayân. Wardah, 181, Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, 1999. hal 12. 5 adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telahdibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyatdemikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikapdan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al- Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalamkhutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabipernah berpesan kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya “Wahai BaniHasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal, sementarakalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah adalahditentukan oleh kualitas takwanya”. Al-Amanahal-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorangkepada orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga denganbaik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaanoleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasatanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah dalam surat an-Nisa’ 58 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supayamenyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh kamuapabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisadiminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malahbersyukur atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. Al-Mas’uliyyah al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwakekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yangharus disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harusdipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanahyang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus10 Hasan, Tholchah, “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, . 1999. hal. 26. 6 dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi Setiap kamu adalahpemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yangdiakatakn oleh Ibn Taimiyyah11, ’’bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalammengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya”.Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban al-masuliyyah ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat demikian, pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah penguasa umat, melainkan sebagai khadim al-ummah pelayan umat. Dusdengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalamsetiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umatditinggalkan. Al-Hurriyyah Al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap wargamasyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjanghal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dandalam rangka al-amr bi-l-ma’ruf wa an-nahy an al-munkar, maka tidak ada alasanbagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai adalah adanyakemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan kontrol sosialbagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat, makakezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi “Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidakmampu, maka dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhirini termasuk selemah-lemah iman”. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dusdengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil. Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dandemokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupankongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di duniaIslam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan otoriteryang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang dilakukan oleh11 Madani, Malik. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam Jurnal Khazanah,UNISMA Malang, 1999. hal 13. 7 sebagian penguasa Bani Abbasiyyah dan Umayyah. Tetapi itu bukan alasan untukmelegitimasi bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga adaeksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dankhulafaurrasyidin. Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakatterdapat pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasisosial yang berbeda. Demikian pula pada zaman pra-Islam Jahiliyyah muncul kelassosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa dan kelas bawah yang tertindas. Kelasbawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari kelompok elit. Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik kekuasaan dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkanterjadinya manipulasi nilai untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligusmenindas yang lemah. Proses seperti ini berlangsung cukup lama tanpa ada perubahanyang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua stratifikasi sosial yang berbeda, yaitumaysarakat kelas atas elit yang hegemonik, baik sosial maupun ekonomi bahkankekerasan fisik sekalipun, dan kelas bawah subordinate yang tak berdaya. Demikianlahsetting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab Makkah-Madinah seperti kata Guillaume,12 komunitas Yahudilah yang telah mendominasi kekuasaanpolitik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang merombakstruktur masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter danmembebaskan. Karena ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segalaketundukan dan kepatuhan hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karenakebenaran datang dari Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada padakekuasaan-Nya, bukan kepada raja. Secara empirik kemudian Nabi melakukan gerakanreformasi dengan mengembalikan kekuasaan dari tangan raja kelompok elit kepadakekuasaan Allah melalui sistem musyawarah. Kehadiran Nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yangmendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yangdibawa Nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial persamaanhak, persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan akhlaqhasanah. Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, Nabi terus berjuangmerombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalambahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur lihat QS. Al-Baqarah257, al-12 Guillaume, Alfred. I s l a m, England, Pinguin Books. 1956, hal. 118 Maidah15, al-Hadid 9, al-Thalaq10-11 dan al-Ahzab41-43. Masyarakat Arabsebelum Islam Jahiliyah terdiri dari kabilah-kabilah, setiap kabilah mengembangkanfanatisme ashabiyyat kabilahnya, sehingga diantara mereka terjerumus dalampertentangan, kekecauan politik dan sosial. Diantara mereka tidak mengenal persamaan,tetapi bersaing dan saling mengunggulkan keleompoknya dan terjadi seperti ini kemudian menggugah Nabi Muhammad untuk merubahnya danmengarahkan kepada persamaan dan kesetaraan antar mereka, Sebab persamaan tersebutsejalan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istemewa diantara mereka, sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah pengakuan hak-hak yang sama antara kaummuslimin dan bukan kurang lebih 10 tahun di Madinah Nabi telah melakukan reformasisecara gradual untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatianbesar terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun Nabi saatitu adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalahmasyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslimyang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun denganTuhan. Sebagai seorang pemimpin, Nabi memiliki kekuatan moral yang tinggi. Kasihsayang terhadap golongan yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anakyatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah misalnya, beliau berpesankepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan bersikapramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika salahseorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk surga, Kalimat tersebut diulangsampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang luar biasa adalah tampak padakasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam kusumatnya tegamemakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan perang yangterhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan pernahmemaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu, ternyata tak diduga-duga ketika kota13 Pulungan, Suyuti. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah. Jakarta, Rajawali Press, 1994. hal. 150. Lihat juga Fikri, M., & Razzaq, A. 2016. Konsep Demokrasi Islam Dalam Pandangan Kuntowijoyo Studi Pada Sejarah Peradaban Islam. Wardah, 161, Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi tawanan perang itupada akhirnya sikap nabi yang begitu mulia tersebut dengan serta merta Hindun sadardan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan, bahwa Muhammad memang seorangrasul, bukan manusia biasa. Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulituntuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semuaorang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengansikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu justru membuat mereka tertarik denganIslam. Seperti yang dicatat oleh Akbar S. Ahmed seorang penulis sejarah Islamkenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelankorban kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang palingsedikit menelan korban jiwa di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusibesar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik denganpenindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian kaumorientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itusecara tegas nabi pernah menyatakan “Harta rampasan perang tidak lebih baik daripada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaumperempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yangtercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dansektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadapBilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonyapada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telahmembuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Pengalaman demokrasi telahdipraktikkan Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Dalam hal keteguhanberpegang kepada aturan hukum misalnya, masyarakat Madinah yang dipimpin Nabitelah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapapun agar menunaikan amanah yang diterima dan menjalankan hukum dan tata aturanmanusia dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Dimana dengan kepastian hukum14 Ahmad, Akbar S. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ramdan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga,1992. 10 tersebut melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapatmenjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap. Karena seperti ungkapan Nurcholis Majid16 kepastian hukum itu pangkal daripaham yang amat teguh, bahwa semua orang adalah sama sawasiyyat dalam kewajibandan hak dalam mahkamah, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpamembedakan siapa terhukum itu, satu dari yang Kebijakan-kebijakan Nabi dalammemimpin umat di Madinah tertuang dalam Piagam Madinah, yang mengatur kehidupanbermasyarakat dan berbangsa. Piagam Madinah menjadi dasar kehidupan bermasyarakatyang mengatur berbagai persoalan umat, meliputi persatuan dan persaudaraan, hubunganantar umat beragama, perdamaian, persamaan, toleransi, kebebasan dst. Prinsip-prinsiptersbut telah diterapkan Nabi dan berhasil dengan baik, sehingga tercipta suasanakehidupan bermasyarakat, berbangsa dan berbegara dengan aman dan penuh kedamaiandalam masyarakat yang majmuk, baik ditinjaua dari aspek, agama, etnis maupun budaya. Sampai pada masa khulafaurrasyidin, praktik demokrasi itu masih berlangsungdengan baik, meski ada beberapa kekurangan. Kenyataan ini menunjukkan, bahkwademokratisasi pernah terwujud dalam pemerintahan Islam. Memang harus diakui, pascaNabi dan khulafaurrasyidin karena kepentingan dan untuk melanggengkan status quoraja-raja Islam demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan Mahasin,16 bahwadi beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah mengesankan pemerintahanraja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. GerejaKatolik misalnya, bersikap acuh-tak acuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikaptersebut, kemudian agama Katolik disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang samaternyata juga dialami oleh agama Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya,dengan reformasi Martin Luther, Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikanposisi kaum tani dan buruh. Tak mengherankan kalau Kristen pun disebut kenyataan sejarah yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesisHuntington dan Fukuyama yang mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam15 Majid, “Hukum dan Keadilan” dalam Jurnal Paramadina, Vol I No. 1 Juli-Desember, 1998, hal. 54. 16 Lihat, Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan, Jakarta, Gramedia. 1999, hal. x-xi, Hefner, Robert W. Civil Islam, Muslim and Democratization ini Indonesia, Princeton University Press, 2000, 4-5. Lihat juga Razzaq, A., & Saputra, D. 2016. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil dan Hermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah, 172, 89-114. 11 tidak kompatibel dengan demokrasi” adalah tidak sepenuhnya benar. Bahkan Huntingtonmengidentikkan demokrasi dengan The Western Christian Connection17 Mengikutiperspektif Akbar S. Ahmed, dengan menggunakan paradigama tipologi, maka dalamsejarah Islam terdapat dua tipe, ideal dan non-ideal. Tipe ideal bersumber dari kitab sucidan kehidupan Nabi sirah Nabawiyah, sunnah.18 Tipe ideal adalah tipe yang palingabadi dan taat azaz konsisten. Sejarah Islam sosial umat Islam mengandung banyakbukti yang menunjukkan adanya hubungan dinamis antara masyarakat dengan upaya paraulama’ dan para intelektual Muslim untuk mencapai model ideal. Wawasan dan tipe idealtersebut membuka peluang timbulnya dinamika dalam masyarakat Muslim. Ketika dalamproses pergumulan sejarahnya inilah umat Islam menghadapi tantangan yang berat dankerapkali jauh dari wilayah yang ideal tadi. Itulah maka ada term Islam ideal dan Islamhistoris. Dengan demikian, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang di dalamnyamenyangkut soal persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakanmusyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktikdemokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitasproblem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkutkomitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikanrelasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah komunitas sosial menyangkut banyakvariabel, termasuk variabel independen non-agama. Sementara itu Bahtiar Effendymenegaskan, bahwa kurangnya pengalaman demokrasi di sebagian besar negara Islamtidak ada hubungannya dengan dimensi “interior” ajaran Secara teologis menurutEffendy, bahwa kegagalan banyak negara Islam untuk mengembangkan mekanismepolitik yang demokratis antara lain karena adanya pandangan yang legalistik danformalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan politik. Oleh karenanya menurutEffendy perlu pendekatan substansialistik terhadap ajaran Islam agar dapat mendorongterciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara Islam dan demokrasi. 17 Lihat, Mahasin dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan,…hal. x-xi18 Ahmad, Akbar S.. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahan Nunding Ramdan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga, 1992, hal. 3-4. Lihat juga Baiti, R., & Razzaq, A. 2018. Esensi WahyuDan Ilmu Pengetahuan. Wardah, 182, Bahtiar Effendy, “Islam dan Demokrasi Mencari Sebuah Sintesa Yang Memungkinkan” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher eds., Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta, 1996, Mizan, hal. PenutupDari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa secara normatif doktriner,dalam ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipunsecara generik, global. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajara Islam ituadalah as-syura, al-adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitasdemokrasi dalam sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dankhulafaurrasyidin. Tetapi setelah itu, pada sebagian besar negara-negara Islam tidakmewarisi nilai-nilai demokrasi tersebut. Realitas ini tidak hanya terjadi pada negara-negara Islam saja, tetapi juga negara non-Islam Barat. Inilah problem yang dihadapioleh banyak negara. Secara umum nilai-nilai agama memang belum banyak dipraktikkandalam ikut memberikan kontribusi pada banyak negara, apalagi negara sekular. Olehsebab itu statement Fukuyama maupun Huntington, yang mengatakan bahwa secaraempirik Islam tidak compatible dengan demokrasi tidak sepenuhnya benar. Sebab dinegara non-Muslim pun demokrasi juga tidak sepenuhnya diterapkan. Daftar PustakaAhmad, Akbar S. 1992. Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, terjemahanNunding Ram dan Ali Yaqub, Jakarta, Erlangga. Aswab Mahasin 1999, dalam Imam Aziz, ed. Agama, Demokrasi dan Keadilan,Jakarta, Gramedia. Baiti, R., & Razzaq, A. 2018. Esensi Wahyu Dan Ilmu Pengetahuan. Wardah, 182, Bahtiar. 1996. “Islam dan Demokrasi Mencari Sebuah Sintesa YangMemungkinkan” dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher eds., Agama danDialog Antar Peradaban, Jakarta M., & Razzaq, A. 2016. Konsep Demokrasi Islam Dalam PandanganKuntowijoyo Studi Pada Sejarah Peradaban Islam. Wardah, 161, Alfred. 1956. I s l a m, England, Pinguin Tutik. 1999. “Konsep Demokrasi dalam Perspektif Muslim” dalam MajalahEl-Harakah, No. 52. A., & Razzaq, A. 2017. Analisis Metode Tafsir Muhammad Ash-Shabunidalam Kitab rawâiu’ al-Bayân. Wardah, 181, Hasan, Tholchah, 1999. “Hak Sipil dan Hak Rakyat dalam Wacana Fiqh” dalam JurnalKhazanah, UNISMA Malang. Madani, Malik. 1999. “Syura, Sebagai Elemen Penting Demokrasi” dalam JurnalKhazanah, UNISMA Malang. Majid, 1998. “Hukum dan Keadilan” dalam Jurnal Paramadina, Vol I No. 1 Juli-Desember. Pulungan, Suyuti. 1994. Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Rajawali A., & Saputra, D. 2016. Studi Analisis Komparatif Antara Ta’wil danHermeneutika dalam Penafsiran al-Qur’an. Wardah, 172, A. 2017. Dakwah dan Pemikiran Politik Islam Kajian Teoritis dan Empiris. Palembang NoerFikri Nasaruddin. 2002. “Demokrasi dan Musyawarah Sebuah Kajian analitis”dalam Jurnal Komunikasi Perguruan Tinggi Islam, Perta, Vol. V. No. 1. Zainuddin. 2002. “Islam Tak Kompatibel Dengan Demokrasi?” dalam Jaringan IslamLiberal, Jawa Pos, 10 ... Demokrasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan persamaan hukum Mujiwati, 2016. Dalam tradisi Barat, demokrasi didasarkan pada penekanan bahwa rakyat seharusnya menjadi pemerintah bagi dirinya sendiri dan wakil rakyat seharusnya menjadi pengendali yang bertanggung jawab terhadap tugasnya Defrizal et al., 2020. Oleh karena rakyat tidak mungkin mengambil keputusan karena jumlah terlalu besar maka dibentuklah dewan perwakilan rakyat Ratu, 2017. ...Turham AGDemocracy is a must to be practiced in the educational process. As an instrument of glue and unification of the nation at the practical level, education must accommodate broadly democratic principles, the Prophet has set a good example for us, in practice democracy cannot be separated from discussion and dialogue, so that students are not educated to be good at memorizing things. but rather to assess, evaluate critically and be taught how to examine problems and how to understand them. So it is hoped that Islamic education can implement the concept of democracy that is appropriate and in accordance with the goals and philosophy of Islamic education to improve the quality of educational services with quality insight so that it will be able to survive in accordance with the needs of the community without losing the main purpose of Islamic has not been able to resolve any references for this publication.

Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama tentang Demokrasi. Al-Maududi Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Demokrasi Berbicara tentang paham demokrasi itu menarik, banyak negara yang saat ini menganut paham ini. Salah satunya ialah negara kita sendiri yaitu negara Indonesia. Demokratis seringkali disebut-sebut dan dipandang sebagai sistem yang paling adil untuk penyusunan dan penegakan hukum. Namun pada kenyataannya tidak selalu demikian. Dari zaman yunani kuno hingga sekarang, mayoritas teoritikus di bidang politik banyak melontarkan kritik terhadap teori dan praktik demokrasi. Komitmen umum terhadap demokrasi merupakan fenomena yang terjadi baru-baru ini saja. Pada kesempatan kali ini penulis akan sedikit memaparkan tentang demokrasi dan dan bagaimana pandangan Islam terhadap paham asal katanya demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau goverment rule the people kata Yunani demos berarti rakyat, kratos atau kratein berarti kekuasaan atau berkuasa. Demokrasi merupakan asas dan sistem yang paling baik didalam sistem politik dan ketatanegaraan kiranya tidak dapat dibantah. Khasanah pemikiran dan preformansi politik diberbagai negara sampai pada satu titik temu tentang ini. Demokrasi adalah pilihan terbaik dari berbagai pilihan lainnya. Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO pada awal 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satupun tanggapan yang menolak “Demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal bagi semua organisasi politik dan organisasi modern. Studi yang melibatkan lebih dari 100 orang sarjana barat dan timur itu dapat dipandang sebagai jawaban yang sangat penting bagi studi-studi tentang demokrasi.[1] Pandangan Islam tentang Demokrasi Di dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan pemegang kendali penuh. Suatu undang-undang disusun dan diubah berdasarkan opini atau pandangan masyarakat. Setiap peraturan yang ditolak oleh masyarakat, maka dapat dibuang, demikian pula dengan peraturan baru yang sesuai keinginan dan tujuan masyarakat itu sendiri dapat disusun dan diterapkan. Berbeda halnya dengan sistem Islam, seluruh kendali maupun hasil keputusan berpatokan pada hukum Allah SWT. Masyarakat tidaklah diberi kebebasan menetapkan suatu peraturan apapun kecuali peraturan tersebut sesuai dengan hukum Islam. Demikian juga dalam permasalahan ijtihadiyah, suatu peraturan dibentuk sesuai dengan hukum-hukum politik yang sesuai dengan syari’at Islam. Kewenangan majelis syura dalam Islam terikat dengan nash-nash syari’at dan ketaatan kepada ulil amr pemerintah. Syura Musyawarah terbatas pada permasalahan yang tidak memiliki nash dalil tegas atau permasalahan yang memiliki nash namun memiliki indikasi beberapa pemahaman. Adapun permasalahan yang memiliki nash yang jelas dan dengan indikasi hukum yang jelas, maka syura tidak lagi diperlukan. Syura hanya dibutuhkan dalam menentukan mekanisme pelaksanaan nash-nash syari’ Syafii Maarif, pada dasarnya syura merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur’an. Jika konsep syura itu ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang, maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik demokrasi barat.[2]Adapun dasar-dasar musyawarah sebagaimana yang sudah digariskan oleh Al-qur’an dapat dijumpai dalam surah Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi sebagai berikut.“maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjatuhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membetulkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang bertawakal kepada-Nya. Qs. Ali Imran [3] 159. Kemudian di dalam surah Asy-Syuura ayat 38 Allah berfirman“Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Tentang siapa yang berhak untuk diajak musyawarah anggota musyawarah Islam tidak ada aturan pasti, oleh karenanya menjadi wewenang manusia untuk menetukannya. 1 2 Lihat Politik Selengkapnya

Dikalanganulama Madinah salah satunya disampaikan oleh Abu Ja’far bin Yazid Al-Qaqa yang menyatakan bahwa ayat Al-Qur’an berjumlah 6.210 ayat. Dikalangan ulama Mekkah yang diriwiyatkan dari Abdullah bin Katsir, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay bin Ka’ab menyatakan bahwa ayat Al-Qur’an berjumlah 6.220 ayat.
DR. YUSUF AL-QARADHAWI DAN DEMOKRASIOleh Syaikh Sulaiman bin Shalih Al-KhurasyiDr. Yusuf al-Qaradhawi mendukung demokrasi seraya berpendapat bahwa demokrasi merupakan alternatif terbaik untuk diktatorisme dan pemerintahan tirani. Berikut ini ringkasan pendapat Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai demokrasi disertai dengan komentar Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Sesungguhnya sisi liberalisme demokrasi yang paling baik menurut saya adalah sisi politiknya, yang tercermin dalam penegakan kehidupan perwakilan, di dalamnya rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka yang akan memerankan kekuasaan legislatif di parlemen, dan di dalam satu majelis atau dua ini hanya bisa ditempuh melalui pemilihan umum yang bebas dan umum, dan yang berhak menerima adalah yang mendapat suara paling banyak dari para calon yang berafiliasi ke partai politik atau non-partai.“Kekuasaan yang terpilih” inilah yang akan memiliki otoritas legislatif untuk rakyat, sebagaimana ia juga mempunyai kekuasaan untuk mengawasi kekuasaan eksekutif atau “pemerintah”, menilai, mengkritik, atau menjatuhkan mosi tidak percaya, sehingga dengan demikian, kekuasaan eksekutif tidak lagi layak untuk kekuasaan yang terpilih, maka semua urusan rakyat berada di tangannya, dan dengan demikian, rakyat menjadi sumber ini secara teoritis cukup baik dan dapat diterima, menurut kaca mata Islam secara garis besar, jika dapat diterapkan secara benar dan tepat, serta dapat dihindari berbagai keburukan dan hal-hal negatif yang terdapat katakan “secara garis besar”, karena pemikiran Islam memiliki beberapa kewaspadaan terhadap beberapa bagian tertentu dari bentuk di terpilih itu tidak memiliki penetapan hukum untuk hal-hal yang tidak diizinkan oleh Allah Ta’ala. Kekuasaan ini juga tidak boleh menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal atau menggugurkan suatu kewajiban. Sebab, yang mem­punyai kekuasaan menetapkan hukum satu-satunya hanyalah Allah jalla Sya’ hanya boleh membuat hukum untuk diri mereka sendiri dalam hal yang diizinkan Allah Ta’ala saja. Artinya, hukum yang mengatur kepentingan dunia mereka yang tidak dimuat di dalam suatu nash tertentu, atau nash yang mengandung beberapa makna kemudian mereka memilih salah satu makna dan meng­gunakannya dengan memperhatikan kaidah-kaidah syari’at. Dalam hal itu terdapat medan yang sangat luas sekali bagi para pembuat karena itu, harus dikatakan “Sesungguhnya rakyat merupakan sumber kekuasaan dalam batas-batas syari’at Islam.” Sebagaimana dalam Majelis Tasyri’ Badan Legislatif harus ada komisi khusus yang dipegang oleh para ahli fiqih yang mampu mengambil kesimpulan dan melakukan ijtihad. Juga menilai ber­bagai ketetapan undang-undang, untuk mengetahui sejauh mana kesesuaiannya dan penyimpangannya dari syar’iat, walaupun sistem demokrasi sendiri tidak mensyaratkan hal tersebut, meski dalam undang-undang dinyatakan bahwa agama negara yang dianut adalah para calon wakil rakyat juga harus benar-benar memenuhi atau memiliki bekal yang kuat dalam agama dan akhlak serta beberapa ketentuan lainnya, misalnya keahlilan dalam bidang kepentingan umum dan lain sebagainya. Jadi, calon wakil rakyat tidak boleh dari seorang penjahat atau pemabuk atau suka mening­galkan shalat atau orang yang menganggap enteng sana terdapat dua sifat yang disyaratkan Islam bagi setiap orang yang akan mengemban suatu Mampu mengemban pekerjaan ini dan mempunyai pengalaman di Amanah. Dengan sifat amanah inilah suatu pekerjaan akan terpelihara dan pelakunya akan takut kepada Allah Ta’ala. Itulah yang diungkapkan oleh al-Qur’an melalui lisan Yusuf Alaihissallam, di mana dia mengatakanقَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ“Berkata Yusuf, jadikanlah aku bendaharawan negara Mesir; sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi ber­pengetahuan. “ [Yusuf /12 55]Juga dalam kisah Musa Alaihissallam, melalui lisan puteri seorang yang sudah tua rentaإِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ“Karena sesungguhnya, orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. “ [Al-Qashash/28 26]Dengan demikian, kekuatan dan ilmu memerankan sisi intelektual dan profesional yang menjadi syarat suatu pekerjaan, sedangkan kemampuan menjaga dan amanat mencerminkan sisi moral dan mental yang memang dituntut pula untuk keberhasilannya.[1]Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengungkapkan “Anehnya, sebagian orang memvonis demokrasi sebagai suatu yang jelas-jelas merupakan bentuk kemungkaran atau bahkan kekufuran yang nyata, sedang mereka belum memahaminya secara baik dan benar sampai kepada substansinya tanpa memandang kepada bentuk dan antara kaidah yang ditetapkan oleh para ulama terdahulu adalah, bahwa keputusan hukum terhadap sesuatu merupakan bagian dari pemahamannya. Oleh karena itu, barangsiapa menghukumi sesuatu yang tidak diketahuinya, maka hukumnya adalah salah, meskipun secara kebetulan bisa benar. Sebab, ibaratnya ia merupakan lemparan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, di dalam hadits ditetapkan bahwa seorang hakim yang memberi ke­putusan dengan didasarkan pada ketidaktahuan, maka dia berada di neraka, sebagaimana orang yang mengetahui yang benar, tetapi dia menetapkan atau menghukumi dengan yang apakah demokrasi yang didengung-dengungkan oleh berbagai bangsa di dunia, dan diperjuangkan oleh banyak orang, baik di dunia belahan barat maupun timur, di mana ada sebagian bangsa bisa sampai kepadanya setelah melalui berbagai pertempuran sengit dengan penguasa tirani, yang menelan banyak darah dan menjatuhkan ribuan bahkan jutaan korban manusia. Sebagaimana yang terjadi di Eropa timur dan lain-lainnya, dan yang banyak dari pemerhati Islam menganggapnya sebagai sarana yang bisa diterima untuk meruntuhkan kekuasaan monarki, serta memotong kuku­kuku politik campur tangan, yang telah banyak menimpa masyarakat muslim. Apakah demokrasi ini mungkar atau kafir, sebagaimana yang didengungkan oleh beberapa orang yang tidak memahami sepenuhnya lagi tergesa-gesa!!?!”Sesungguhnya substansi demokrasi -tanpa definisi dan istilah akademis- adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan, dan rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui. Jika sebagian mereka menghalanginya, maka balasannya adalah pemecatan atau bahkan penyiksaan dan pembunuhan.”[2]Sesungguhnya Islam telah mendahului sistem demokrasi dengan menetapkan beberapa kaidah yang menjadi pijakan substansi­nya, tetapi Islam menyerahkan berbagai rinciannya kepada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan pokok-pokok agama mereka, ke­pentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan zaman dan tempat, dan juga pembaharuan keadaan demokrasi adalah, bahwa ia mengarahkan di sela­-sela perjuangannya yang panjang melawan kezhaliman dan kaum tirani serta para raja kepada beberapa bentuk dan sarana, yang sampai sekarang dianggap sebagai jaminan yang paling baik untuk menjaga rakyat dari penindasan kaum ada larangan bagi umat manusia, para pemikir dan pemimpin mereka untuk memikirkan bentuk dan cara lain, barang­kali cara baru itu akan mengantarkan kepada yang lebih baik dan ideal. Tetapi, untuk mempermudah kepada hal tersebut dan me­realisasikannya ke dalam realitas manusia, kita melihat bahwa kita harus mengambil beberapa hal dari cara-cara demokrasi guna me­wujudkan keadilan, permusyawaratan, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta berdiri melawan kesewenangan para penguasa yang angkuh di muka bumi antara kaidah syari’at yang ditetapkan adalah, bahwa sesuatu yang menjadikan hal yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia itu menjadi wajib, dan bahwasanya tujuan­tujuan syari’at yang diharapkan adalah jika tujuan-tujuan itu mem­punyai sarana pencapaiannya, maka sarana ini boleh diambil sebagai alat menggapai tujuan ada satu syari’at pun yang melarang penyerapan pemikiran teori atau praktek empiris dari kalangan non-muslim. Karena, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri pada perang Ahzab telah mengambil pemikiran “penggalian parit”, padahal strategi tersebut berasal dari strategi bangsa itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah juga mengambil manfaat dari tawanan musyrikin dalam perang Badar “dari orang-orang yang mampu membaca dan menulis” untuk mengajarkan baca tulis anak-anak kaum meski mereka itu musyrik. Dengan demikian, hikmah itu adalah barang temuan orang mukmin, di mana saja dia menemukannya, maka dia yang paling berhak beberapa buku, saya telah mengisyaratkan bahwa merupakan hak kita untuk mengambil manfaat dari pemikiran, strategi dan sistem yang bisa memberikan manfaat kepada kita, selama tidak bertentangan dengan nash muhkam yang jelas dan tidak juga kaidah syari’at yang sudah baku, dan kita harus memilih dari apa yang kita ambil untuk selanjutnya menambahkannya dan melengkapinya dengan bagian ruh kita serta hal-hal yang dapat menjadikannya sebagai bagian dari kita dapat dan menghilangkan identitas pertamanya.”[3]Ungkapan seseorang yang mengatakan, bahwa demokrasi berarti kekuasaan rakyat oleh rakyat dan karenanya, harus ditolak prinsip yang menyatakan, bahwa kekuasaan itu hanya milik Allah semata, maka ungkapan semacam itu sama sekali tidak dapat para penyeru demokrasi tidak perlu harus menolak kekuasaan Allah atas manusia. Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-­wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap setiap yang dimaksudkan dengan demokrasi oleh me­reka adalah memilih pemerintah oleh rakyat sesuai dengan hati nurani mereka, serta memantau tindakan dan kebijakan mereka, serta menolak berbagai perintah mereka jika bertentangan dengan undang undang rakyat, atau dengan ungkapan Islam “Jika mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat,” dan mereka juga mem­punyai hak untuk menurtmkan penguasa jika melakukan penyim­pangan dan berbuat zhalim serta tidak mau menerima nasihat atau peringatan. “[4]Sesungguhnya undang-undang menetapkan, di samping berpegang pada demokrasi, bahwa agama negara adalah Islam dan bahwasanya syari’at Islam adalah sumber hukum dan undang­undang, dan yang demikian itu merupakan penegasan akan kekuasaan Allah atau kekuasaan syari’at-Nya, dan kekuasaan itulah yang memiliki kalimat juga untuk menambahkan pada undang-gundang materi yang secara tegas dan lantang menetapkan, bahwa setiap undang-undang atau sistem yang bertentangan dengan syari’at yang baku dan permanen, maka undang-undang itu adalah bathil.”[5]Tidak ada ruang untuk pemberian suara dalam berbagai hukum pasti dari syari’at dan juga pokok-pokok agama serta hal­hal yang wajib dilakukan dalam agama, tetapi pemberian suara itu pada masalah-masalah ijtihadiyah yang mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat dalam hal tersebut, misalnya pemilihan salah satu calon yang akan menempati suatu jabatan, meskipun itu jabatan kepala negara, dan seperti juga pengeluaran undang-undang untuk mengatur lalu lintas jalan raya atau untuk mengatur bangunan tempat perdagangan atau industri atau rumah sakit, atau yang lainnya yang oleh para ahli fiqih disebut sebagai “mashalihul mursalah.” Atau seperti juga pengambilan keputusan untuk mengumumkan perang atau tidak, mengharuskan pembayaran pajak tertentu atau tidak, atau mengumumkan keadaan darurat atau tidak, atau mem­batasi jabatan Presiden, dan pembolehan membatasi masa pemilihan atau tidak, demikian banyak pendapat yang berbeda dalam masalah ini, maka apakah pendapat itu akan ditinggal menggantung begitu saja, apa­kah ada tarjih tanpa murajjah yang diunggulkan? Ataukah harus ada murajjah?Sesungguhnya logika akal, syari’at dan realitas menyatakan harus ada murajjah yang diunggulkan, dan yang diunggulkan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah terbanyak. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pen­dapat satu orang, dan dalam hadits disebutkan“Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia syaitan lebih jauh dari dua orang.”[6].[7]Ungkapan orang yang menyatakan, bahwa tarjih pengunggulan satu pendapat itu adalah untuk yang benar meskipun tidak ada seorang pun pendukungnya. Adapun yang salah harus ditolak meskipun didukung oleh 99 dari 100. Ungkapan ini hanyalah tepat pada hal-hal yang ditetapkan oleh syari’at secara gamblang, tegas dan terang yang menyingkirkan perselisihan dan tidak mengandung perbedaan atau menerima pertentangan, dan hal itu hanya sedikit sekali. Itulah yang dikatakan Jama’ah itu adalah yang sejalan dengan kebenaran meski engkau hanya sendirian.[8]Sesungguhnya petaka pertama yang menimpa umat Islam dalam perjalanan sejarahnya adalah sikap mengabaikan terhadap kaidah musyawarah, dan perubahan “Khilafah Rasyidah” menjadi “kerajaan penindas” yang oleh sebagian sahabat disebut “kekaisaran”. Artinya, kekuasaan absolut Kaisar telah berpindah kepada kaum muslimin dari berbagai kerajaan yang telah diwariskan Allah ke­padanya. Padahal semestinya mereka mengambil pelajaran dari mereka dan menghindari berbagai kemaksiatan dan perbuatan hina yang menjadi sebab musnahnya negara yang menimpa Islam, umatnya, serta dakwahnya di zaman modern ini tidak lain adalah akibat dari pemberlakuan pemerintahan otoriter yang bertindak sewenang wenang terhadap umat manusia dengan menggunakan pedang kekuasaan dan emas­nya, dan tidaklah syari’at dihapuskan, skularisme diterapkan, serta umat manusia diharuskan berkiblat ke barat melainkan dengan paksaan, memakai besi dan api. Tidaklah dakwah Islam dan ge­rakannya dipukul habis-habisan serta tidak juga para penganut dan penyerunya dihajar dan dikejar-kejar melainkan oleh kekuasaan otoriter yang terkadang tanpa kedok dan terkadang dengan meng­gunakan kedok demokrasi palsu yang diperintahkan oleh kekuatan yang memusuhi lslam secara terang-terangan atau diarahkan dari balik layar.”[9]Di sini saya Dr. Yusuf al-Qaradhawi perlu menekankan, bahwa saya bukan termasuk orang yang suka menggunakan kata-kata asing, seperti misalnya; demokrasi dan lain-lainnya untuk mengungkapkan pengertian-pengertian jika suatu istilah telah menyebar luas di tengah-tengah umat manusia dan telah dipergunakan oleh banyak orang, maka kita tidak perlu menutup pendengaran kita darinya, tetapi kita harus mengetahui maksud istilah tersebut, sehingga kita tidak me­mahaminya secara keliru, atau mengartikannya secara tidak benar atau yang tidak dikehendaki oleh orang-orang yang membicarakannya, dengan begitu hukum kita terhadapnya adalah hukum yang benar dan seimbang. Meski istilah itu datang dari luar kalangan kita, hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, poros hukum itu tidak pada nama dan sebutan, tetapi pada kandungan dan substansinya.”[10]Saya Dr. Yusuf al-Qaradhawi termasuk orang yang menuntut demokrasi dalam posisinya sebagai sarana yang sangat mudah dan teratur untuk merealisasikan tujuan kita dalam kehidupan yang mulia, yang di dalamnya kita bisa berdakwah kepada Allah dan juga kepada Islam, sebagaimana kita telah beriman kepadanya, tanpa harus dijebloskan ke dalam penjara yang gelap atau dihukum di atas tiang gantungan.”[11]Berkenaan dengan hal tersebut, dapat penulis katakan “Dr. Yusuf al-Qaradhawi telah dengan sekuat tenaga membela demokrasi dalam menghadapi pemerintahan otokrasi atau pemerintahan tirani yang berbagai keburukan dan kesialannya telah dirasakan oleh al-Qaradhawi dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi berusaha keras mempertahankan demokrasi dengan segenap daya dan lebih baik dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, menegakkan hukum Islam yang di dalamnya terdapat konsep musyawarah Islami yang sudah cukup bagi kita dan tidak lagi memerlukan demokrasi ala Barat meskipun kita memolesnya dengan berbagai kebaikan dan kita menyaring demokrasi ini, lalu menambahkan bebe­rapa hal yang sesuai dengan agama kita atau mengurangi beberapa hal darinya yang memang bertentangan dengan agama, lalu mengapa kita harus menyebutnya demokrasi? Mengapa tidak menyebutnya syura permusyawaratan demikian, demokrasi Barat tidak disebut demikian kecuali diambil dengan seluruh kandungannya. Tetapi, jika diambil dengan melakukan penyesuaian, perubahan dan penyimpangan, maka hal itu secara otomatis menjadi sesuatu yang lain yang tidak mungkin kita sebut lagi sebagai demokrasi. Dalam hal ini, perum­pamaannya adalah sama dengan khamr jika rusak dengan sendirinya atau tindakan seseorang, maka pada saat itu tidak lagi disebut se­bagai khamr, tapi disebut cuka. Demikian pula yang harus dilakukan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah menyeru kepada penegakan hukum Islam dengan menerap­kan sistem syura permusyawaratan yang adil, daripada mengobati suatu penyakit dengan penyakit lain, yang bisa jadi lebih berbahaya lagi bagi umat.[12]KOMENTAR JAMAL SULTHAN ATAS FATWA DR. YUSUF AL-QARADHAWI. Ustadz Jamal Sulthan hafizhahullah mempunyai komentar yang sangat baik terhadap fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam hal demokrasi. Di sini saya bermaksud untuk menukilnya agar bisa diambil manfaat oleh para pembaca, dan agar para pembaca mengetahui titik-titik ketidakbenaran dari ucapan Dr. Yusuf al­ Sulthan mengatakan “Masalah ini sangat penting sekali, dan ketika yang mengungkapkannya adalah seorang pakar fiqih sekaliber Dr. Yusuf al-Qaradhawi, maka masalahnya semakin bertambah penting, belum lagi mimbar yang menjadi tempat penyebaran fatwa yang dibaca tidak kurang dari satu juta orang berbahasa Arab. Maka pada saat itu, tidak diragukan lagi bahayanya akan lebih besar, dan dia mempromosikan dirinya kepada setiap penulis dan pemilik dalam format yang disebarluaskan tidak mempunyai tema sama sekali dan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, cukuplah bagi anda ketika anda dihadapkan suatu ungkapan yang anda bisa mengatakan “itu benar,” bersikap sama seperti halnya ketika anda tidak bisa mengatakan “Itu salah!” Namun, sesung­guhnya di sana ada suatu kerancuan yang aneh, dan beberapa hakikat obyektif dan histroris yang tidak diketahui Dr. Yusuf al-Qaradhawi, menyebabkan pembicaraannya terjadi kekeliruan, yang menuntut saya mengkaji cukup lama untuk mendiskusikan “segi dan pertim­bangan” fatwa dengan mengharapkan keluasan hati pemberi fatwa tersebut, dan kita tahu kesungguhan beliau untuk memperoleh kejelasan kebenaran, dimana pun berada serta perhatiannya yang tulus insya Allah terhadap berbagai masalah besar yang membuat sibuk generasi muslim pada zaman sekarang fatwa tersebut ditanyakan, sebagaimana yang ditegas­kan oleh Ustadz Fahmi “Apakah demokrasi itu kufur?” Maka, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi membuka pembicaraannya dengan mengatakan “Sesungguhnya substansi demokrasi adalah memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih orang yang akan mengurus dan mengendalikan urusan mereka, sehingga mereka tidak dipimpin oleh penguasa yang tidak mereka sukai, atau diatur oleh sistem yang mereka benci. Selain itu, mereka juga harus mempunyai hak menilai dan mengkritik jika penguasa melakukan kesalahan, juga hak opsi jika penguasa melakukan penyimpangan. Rakyat tidak boleh digiring kepada aliran atau sistem ekonomi, sosial, kebudayaan, atau politik yang tidak mereka kenal dan tidak pula mereka setujui, dan itulah substansi demokrasi.”Kemudian Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari “Realitas menunjukkan, bahwa orang yang memperhatikan secara seksama substansi demokrasi, maka dia akan mendapatkan bahwa ia termasuk dari konsep Islam”Pendahuluan inilah yang menjadi kesalahan pertama dan substansial yang mengakibatkan fatwanya salah secara Yusuf al-Qaradhawi telah menetapkan, bahwa substansi demokrasi adalah pemberian kesempatan kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka… dan seterusnya. Inilah salah satu produk pokok dari berbagai produk demokrasi atau salah satu tampilan dari berbagai penampilan demokrasi, tetapi itu bukan substansi demokrasi, sebagaimana yang dianggap oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Namun, demokrasi secara substansial adalah penolakan terhadap teokrasi, yaitu sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan agama dan menjalankan pemerintahan atas nama Allah di muka bumi. Kelahiran demokrasi itu menurut perjalanan sejarahnya adalah sebagai akibat dari pertikaian negara melawan gereja, hukum buatan manusia melawan hukum agama, hukum atas nama rakyat dan manusia melawan hukum atas nama Allah dan kata lain, kita bisa katakan bahwa demokrasi itu adalah sisi lain dari sekularisme, dan di antara dampaknya demokrasi adalah meniadakan perwalian masing-masing individu umat manusia dari pundak masyarakat. Sebab, jika kita menolak perwalian agama dan Tuhan untuk kepentingan rakyat, maka semua perwalian di bawahnya sudah pasti akan tertolak. Dari sini lahirlah berbagai sarana dan sistem yang mengatur seluk beluk masyarakat, yang mencegah munculnya kekerasan, penindasan dan kesewenangan dalam bentuk apa pun, dan itu berlangsung setelah negara sipil dengan para pemikir dan pendukungnya berhasil merealisasikan kemenangan akhir atas gereja dan para tokoh agama serta berhasil mencopot kekuasaan dari mereka, seperti yang diketahui oleh setiap pengkaji sejarah Eropa antara dampak dari kemenangan akhir bagi gerakan demokrasi ini adalah terhapusnya sifat kesucian dari semua posisi, masalah dan makna, selama tidak ditetapkan oleh rakyat sebagai sesuatu yang suci. Yang haram adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai haram, sedangkan yang halal adalah apa yang menurut pendapat mayoritas orang sebagai halal, dengan menutup mata dari setiap referensi yang lain, baik yang bersifat religius maupun yang lainnya. Sebab, jika anda menetapkan bahwa di sana terdapat referensi syari’at yang berada di atas manusia atau harus didahulukan sebelum pendapat rakyat, maka dengan demikian anda telah menggugurkan dasar demokrasi. Karena, jika anda mengatakan, misalnya “Sesungguhnya masalah ini berdasarkan nash al-Qur’an, tidak boleh dilakukan oleh manusia, maka dengan demikian, anda telah menjadikan hukum hanya pada Allah Ta’ala semata, bukan ada pada rakyat. Selama kekuasaan dan hukum ditarik dari rakyat, maka berakhirlah kisah demokrasi itulah kisah demokrasi secara ringkas dan ini pula yang menjadi substansinya, yang diketahui secara pasti oleh Ustadz Fahmi Huwaidi dan aliran pemikirannya. Dengan demikian, apakah kita bisa mengatakan seperti yang dikatakan oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Barangsiapa yang memperhatikan secara seksama terhadap substansi demokrasi, niscaya dia akan mendapatkan bahwa demokrasi termasuk dari konsep Islam”. Atau kita akan mengatakan seperti yang dikatakannya pula “Islam telah mendahului demokrasi dengan menetapkan kaidah-kaidah yang menjadi dasar pijakan bagi substansinya, hanya saja Islam menyerahkan rincian­nya pada ijtihad kaum muslimin sesuai dengan ajaran agama mereka, kepentingan dunia mereka, serta perkembangan kehidupan mereka”Yang tampak jelas sekali dari fatwa Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa dia menggambarkan demokrasi dengan gambaran tertentu yang dia angan-angankan dan impikan, lalu dia mengeluarkan fatwanya berdasarkan pada khayalan yang mempermainkan angan-angannya, bukan pada hakikat sejarah demokrasi dan obyek­tivitas yang membentuk istilah demokrasi dalam pemikiran manusia hal yang sangat jelas menunjukkan hal tersebut adalah ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya “Dan ungkapan orang yang mengatakan bahwa demokrasi berarti pemerintahan yang kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga ada keharusan menolak prinsip yang menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah, adalah ungkapan yang sama sekali tidak dapat diterima, karena menyuarakan demokrasi tidak harus menolak kekuasaan tertinggi berada di tangan Allah atas semua umat manusia. Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan yang menindas rakyat, baik itu penguasa zhalim maupun diktator.”Sebenarnya, saya Jamal Sulthan belum memahami benar ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi yang menyatakan “Hal seperti itu tidak pernah terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi. Tetapi, yang menjadi konsentrasi mereka adalah menolak kediktatoran yang sewenang-wenang, serta menolak pemerintahan otoriter terhadap rakyat.” Apakah dia pernah melakukan penelitian yang menghasilkan hakikat tersebut? Jika lawannya mengatakan “Sesungguhnya hal itu selalu terbersit di dalam hati mayoritas penyeru demokrasi,” lalu siapa yang akan menilai dan membenarkan salah satu dari kedua ungkapan tersebut ?Sesungguhnya fatwa syari’at memerlukan adanya ketelitian dan keakuratan dalam ucapan, lebih dari sekedar ungkapan yang hanya dilandasi perasaan misalnya “Saya yakin hal seperti itu tidak pernah terbersit” dst..ed. Saya sangat memaklumi Dr. Yusuf al­Qaradhawi dalam hal kesungguhannya mempertahankan nilai­nilai keadilan, kebebasan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia serta kehormatan mereka. Dalam hal itu, orang seperti dia dan saya mengetahui betapa kejam cambuk-cambuk para algojo, dan betapa menyeramkannya pula penjara para penindas. Namun demikian, pembicaraan masalah keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia merupakan suatu hal, sedangkan pengaturan istilah pemikiran politik untuk memberlakukan hukum syari’at terhadapnya merupakan hal lain. Sebagaimana realitas terus berada seperti sediakala tidak berubah seperti yang saya duga. Kita perlu juga merenungi ucapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Orang muslim yang menyerukan demokrasi pada hakikatnya menyeru kepadanya sebagai satu bentuk pemerintahan, yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam dalam pemilihan pemimpin, penetapan musyawarah dan loyalitas, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar, melawan kezhaliman, menolak kemaksiatan, khususnya jika sampai pada kekufuran yang jelas yang telah ada bukti dari Allah.”Di sini, saya setuju sekali dengan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengenai kriteria yang dikemukakannya mengenai manhaj bagi pemerintahan Islam. Tetapi, apakah yang mendorong anda untuk meletakkan stempel demokrasi pada perbincangan ini dan manhaj tersebut? Apakah sebenarnya kesucian yang dikandung oleh istilah “buatan Barat, perkembangan, sejarah dan pertikaiannya” untuk anda pertahankan dengan mati-matian dan memperindah penampilannya di hadapan kaum muslimin? Hal itu mengingatkan kita terhadap apa yang meliputi akal pikiran kaum muslimin pada tahun lima puluhan dan enam puluhan sekitar istilah “sosialisme “, sehingga mereka menjadikan sosialisme dan Islam dua sisi satu mata uang. Pengalaman yang sama juga kembali terjadi sekali lagi pada istilah demokrasi bukan apa yang anda rinci berdasarkan analogi Anda sendiri, atau dirinci oleh orang lain. Tetapi demokrasi merupakan satu kesatuan sistem untuk memelihara bangunan sosial. Terserah anda mau menerimanya atau menolaknya, lalu mencari manhaj lain yang melahirkan bagi anda satu istilah lain yang orisinil yang sesuai dengan `aqidah, agama, sejarah dan kemanusiaan kita boleh menerima istilah tersebut disertai dengan beberapa penyesuaian terhadapnya agar sejalan dengan lingkungan kita, lalu bagaimana pendapat anda mengenai istilah teokrasi, atau yang disebut dengan “pemerintahan berdasarkan ketuhanan”. Kita hanya akan menjauhkan diri dari monopoli para tokoh agama terhadap kekuasaan atas nama perwakilan langit sebagaimana yang diketahui oleh sejarah gereja Eropa, dan tinggallah bagi kita, yaitu menjadikan hukum Allah yang berkuasa atas umat manusia dan membatasi perundang-ungangan masyarakat. Pada saat itu, apakah kita bisa mengatakan bahwa substansi teokrasi yaitu “hukum Allah” adalah Islam?!Dengan tolok ukur yang sama, jika anda mengatakan “Sesungguhnya demokrasi itu dari Islam,” maka dibenarkan pula untuk mengatakan “Sesungguhnya teokrasi itu dari Islam!!!”Sedangkan kita akan mengatakan “Sesungguhnya demokrasi dan teokrasi, keduanya adalah istilah Eropa yang lahir dan terbentuk serta menunjukkan budaya Barat, hal itu tidak memberikan manfaat bagi kita sebagai kaum muslimin. Sebab, Islam tidak mengenal pemerintahan pemuka agama, sebagaimana Islam juga tidak mengenal istilah “surat penebus dosa”, dan tidak pula mengenal istilah pertikaian antara negara sipil dan gereja, atau antara agama dan negara. Karena, Islam sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan berbeda dari Kristen sebagai agama, sejarah, dan kebudayaan. Hal itu memperlihatkan kepada kita secara pasti perbedaan berbagai istilah pemikiran, politik, dan metodologi antara keduanya Islam dan Kristen.Permasalahannya di sini adalah, bahwa sebagian kaum muslimin berkhayal bahwa hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, hak suksesi kekuasaan dan larangan melakukan penindasan di muka bumi merupakan hal-hal yang diperjuangkan oleh sistem demokrasi bagi masyarakat, di mana tidak mungkin bagi mereka untuk menggambarkan prinsip-prinsip ini dapat terealisasi di bawah payung istilah lain dalam Islam. Yang demikian itu merupakan satu kesalahan yang sangat berbahaya. Sesungguhnya hak-hak dan prinsip-­prinsip kemanusiaan itu hanya sekedar dampak dari kelahiran sekulerisme atau demokrasi di masyarakat Eropa. Bersamaan dengan itu mungkin juga memproduksinya, memeliharanya, dan memberlakukannya di masyarakat lain tanpa melalui jalan sekularisme atau dominasi pemikiran Barat atas berbagai aliran pemikiran dan politik dalam masyarakat kontemporer, dan tirani yang ditanamkan oleh Eropa ke dalam akal dan jiwa masyarakat dunia ketiga yang di antara mereka adalah sebagian kaum muslimin, tidak meninggalkan sedikit kesempatan pun bagi akal non-Eropa untuk memikirkan orisinalitas atau mengkhayalkan karya pemikiran atau metodologis yang tidak terpengaruh oleh “kutub Eropa”, serta berbagai manhaj dan istilahnya. Maka sebagian besar usaha-usaha “dunia ketiga” dalam bidang pemikiran, metodologi dan istilah -yang di antaranya adalah fatwa ini-, hanyalah sekedar catatan kaki atau catatan akhir atas matan isi yang berasal dari Eropa. Padahal kita -di lingkungan Islam-, hati nurani Islami menolak kecuali mencatat sikap kehati-hatiannya yang malu-malu itu terhadap demokrasi, sedangkan berpura-pura tidak mengetahui bahwa sikap kehati-hatian itu bermakna pada kenyataan obyektifnya sebagai penolakan terhadap demokrasi, tetapi kita masih terus ngotot untuk mempertahankan istilah tersebut, meskipun pada hakikatnya, secara obyektif, telah Partai Kupu-Kupu Itali -Partai para pelacur- ­memaksakan dirinya masuk ke dunia partai, dan sebagian anggotanya masuk parlemen Itali, agar “suara pelacur” cukup untuk membuat berbagai ketetapan undang-undang baru di dalam masyarakat, jika semua suara tidak mau diakui oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi adalah, bahwa Partai Kupu-Kupu ini mengaspirasikan hak demokrasinya. Jika anda menolak keberadaannya atau menolak masuknya ke parlemen atau menolak keikutsertaannya dalam penghitungan dengan suara anggotanya, maka anda tidak demokratis, dan tindakan ini melawan demokrasi. Itulah hakikat obyektif, yang tidak ada alasan bagi anda terhadapnya, serta tidak ada tempat melarikan diri dari bahwa anda menolak hal tersebut, dan saya pun demikian. Tetapi, makna hal itu adalah bahwa kita menolak demokrasi sebagai bingkai sistem bagi pemerintahan di suatu negara Islam. Tinggallah bagi saya dan anda mencarikan istilah baru dan sistem baru, yang menyatukan antara agama dan dunia, syari’at dan masyarakat, keadilan dan moral, kebebasan dan nilai-nilai, hak Allah dan hak hamba, dan semuanya itu adalah aspek-aspek yang tidak mempunyai hubungan dengan anda merasa kesal tuanku Dr. Yusuf al-Qaradhawi, jika masyarakat Barat menolak mengakui istilah dan sistem baru anda. Karena mereka memang menolak agama anda pada dasarnya, sebagaimana logika subyektif dari sistem demokrasi yang mengatur kehidupannya, mengharuskannya menerima pluralisme. Yang demikian itu, jika kita berhusnuzhzhan berprasangka baik terhadap kesungguhan mereka dalam memegang segala macam prinsip, apalagi yang menyangkut masalah hubungan antar fatwa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi tentang demokrasi, masih terdapat kerancuan lain, yaitu dalam usahanya melegitimasi beberapa sisi kekuasaan eksekutif dalam menerapkan demokrasi, di mana sang Doktor mempromosikannya kepada pemahaman beberapa pemerintah Islam. Lebih baiknya, kita simak apa yang dikatakan Doktor, kemudian simak juga komentar kami setelah Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Di antara dalil-dalil menurut kelompok pemerhati Islam yang menunjukkan demokrasi adalah prinsip hasil import dan tidak ada hubungannya dengan Islam, adalah bahwa ia berdasarkan pada suara mayoritas, serta menganggap suara terbanyak merupakan pemegang kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan dan mengendalikan berbagai permasalahan, dan dalam menilai serta memutuskan benar terhadap salah satu dari berbagai masalah yang berbeda-beda dengan meng­gunakan pemungutan suara terbanyak dalam demokrasi sebagai pemutus dan referensi. Maka, pendapat mana pun yang memenangkan suara terbanyak secara absolut, atau terbatas pada beberapa kesempatan, itulah pendapat yang diberlakukan, meskipun terkadang pendapat itu salah dan Islam tidak menggunakan sarana seperti itu dan tidak mentarjih mengunggulkan suatu pendapat atas pendapat yang Iain karena adanya kesepakatan pihak mayoritas, tetapi Islam melihat pada pokok permasalahan tersebut; Apakah ia salah atau benar? Jika benar, maka ia akan memberlakukannya, meskipun bersamanya hanya ada satu suara, atau bahkan sama sekali tidak ada seorang pun yang menganutnya. Jika salah,. maka ia akan menolaknya, meskipun bersamanya terdapat 99 orang dari 100 orang yang nash-nash al-Qur’an menunjukkan bahwa suara mayoritas selalu berada dalam kebathilan dan selalu mengiringi para Thaghut, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Ta’ala iniوَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di­muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya.”[Al-An’aam/6 116]Juga firman-Nyaوَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya” [Yusuf/12 103]Di dalam al-Qur’an, dilakukan pengulangan berkali-kali terhadap firman-Nya berikut iniوَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [Al-­A’raaf/7 187]Selanjutnya, Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menambahkan seraya mengomentari hal tersebut dengan mengatakan “Ungkapan tersebut sama sekali tidak dapat diterima, sebab didasarkan pada suatu hal yang salah”Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim; yang mayoritas mereka dari kalangan orang orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan AllahKemudian, sesungguhnya terdapat beberapa hal yang tidak masuk ke dalam kategori voting dan tidak dapat diambil suaranya, karena ia termasuk bagian dari hal yang sudah tetap dan permanen yang tidak dapat diubah kecuali jika masyarakat itu berubah sendiri dan tidak menjadi muslim tidak ada tempat bagi voting dalam berbagai ketetapan syariat yang sudah pasti dan juga pokok-pokok agama. Voting itu hanya pada masalah-masalah ijtihad saja yang bisa mencakup lebih dari satu pendapat. Sudah menjadi kebiasaan manusia untuk berbeda pendapat mengenai hal tersebut, jika terdapat berbagai pendapat yang berbeda-beda mengenai beberapa masalah. Lalu, apakah masalah-masalah itu akan dibiarkan bergantung begitu saja? Dan apakah ada pemilihan pendapat tanpa adanya yang diunggul­kan? Ataukah perlu adanya yang diunggulkan?Logika akal, syari’at dan realitas menyatakan perlu adanya orang yang dimenangkan. Yang diutamakan pada saat terjadi perbedaan pendapat adalah jumlah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang itu lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang. Dalam hadits pun sudah ditegaskan ,”Sesungguhnya, syaitan itu bersama satu orang dan dia syaitan lebih jauh dari dua orang.”Ditegaskan pula, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Bakar dan `Umar radhiallahu `anhuma “Jika kalian bersatu dalam suatu musyawarah, niscaya aku tidak akan menentang kalian berdua.”Demikian yang diungkapkan oleh Dr. Yusuf Dr. Yusuf al-Qaradhawi di atas memerlukan adanya perincian, karena di dalamnya terdapat kerancuan dan beberapa hal yang saya merasa heran karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi menempatkan pendapat lawan-lawannya yang menurutnya tidak benar dengan membuka ucapannya bahwa mereka berpendapat “Demokrasi adalah ajaran yang diimport dari Barat dan tidak mempunyai hubungan dengan Islam”-Apakah Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengetahui bahwa demokrasi merupakan ajaran yang tidak diimport? Dan bahwasanya demokrasi merupakan prinsip dasar yang lahir dan tumbuh di dalam buaian sejarah Islam disertai berbagai perubahan peradaban, manhaj, agama dan politik? Lalu kapan hal itu terjadi? Di zaman apa, jika dihitung dari sejak diutusnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sampai pertengahan abad ke-19? Kapan Eropa mengimport demokrasi dari kaum muslimin? Serta apakah rahasia-rahasia yang terdapat dalam peristiwa bersejarah dan menghebohkan itu yang tidak diketahui oleh seantero bumi selama kurun waktu yang begitu panjang?Saya kira, Dr. Yusuf al-Qaradhawi tidak seharusnya membuka ucapannya dengan kalimat tersebut. Sebab, siapa pun dari kaum muslimin tidak akan dapat mengaklaim bahwa demokrasi itu merupakan ajaran yang tidak diimport dari sistem Eropa. Sesungguhnya yang menjadi perbedaan pendapat adalah sikap Islam terhadap demokrasi itu. Ini yang pertama!Adapun ungkapan Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Seharusnya kita perlu membicarakan tentang demokrasi di dalam masyarakat muslim, yang mayoritas mereka dari kalangan orang­orang yang berpengetahuan, berakal, beriman lagi bersyukur. Kita tidak hendak membicarakan tentang masyarakat kaum atheis atau kaum yang sesat dari jalan Allah.”Yang demikian itu secara obyektif adalah kesalahan yang jelas. Sebab, demokrasi tidak mempersoalkan identitas, keimanan, kekufuran dan jenis nilai yang dibawa oleh seseorang, karena semuanya itu sama, baik itu orang alim yang bertindak sewenang-­wenang, Muslim dan Nasrani. Jika saya katakan “Bahwa hak menerapkan demokrasi di masyarakat muslim tergantung pada orang muslim yang taat beragama, dan tidak masuk di dalamnya orang yang tidak taat beragama atau yang mempunyai identitas tidak jelas atau pemeluk Nasrani, Yahudi atau Atheis. Maka, artinya anda telah berbicara tentang sistem lain dan manhaj yang lain pula. Jelas, itu bukan lagi demokrasi.”Demikian juga dengan ungkapan Syaikh Dr. Yusuf ai-Qaradhawi “Kemudian, di sana terdapat beberapa masalah yang tidak masuk ke dalam voting dan tidak pula diperlukan pemungutan suara terhadapnya, karena semua itu merupakan bagian dari hal­-hal yang sudah baku dan tidak dapat dilakukan perubahan, kecuali jika masyarakat itu mengalami perubahan sendiri dan tidak menjadi muslim lagi”Perbedaan yang dianggap aneh oleh Syaikh Dr. Yusuf al­Qaradhawi di sini adalah bahwa suatu masyarakat, jika mengalami perubahan dan tidak menjadi muslim lagi, maka dimungkinkan menjadi masyarakat yang demokratis. Tetapi, jika masih tetap menjadi masyarakat muslim, maka dapat dipastikan ia tidak akan demokratis, karena mempunyai sistem lain berupa hal-hal yang sudah baku, `aqidah dan nilai-nilai yang tidak mungkin untuk di­tundukkan pada pendapat sini, kita kembali lagi kepada pokok kesalahan pada konsepsi Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi terhadap wujud dan substansi demokrasi. Di dalam demokrasi, rakyat merupakan tempat kembali sekaligus penguasa, pembuat ketetapan, dan penentu satu-satunya. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal yang tidak akan dapat ditundukkan pada voting atau tidak masuk pada ruang voting, maka dengan demikian anda tidak demokratis. Jika anda mengatakan, bahwa di sana terdapat beberapa hal pasti dan permanen, baik yang menyangkut masalah pemikiran, agama, moral, ekonomi atau politik yang tidak akan dapat diubah, maka pada saat itu anda juga tidak juga ungkapan Dr. Yusuf al-Qaradhawi “Jadi , tidak ada ruang voting dalam berbagai ketetapan syari’at yang sudah pasti,” maka ungkapan itu pun sama sekali tidak demokratis. Sebab, pengakuan anda bahwa di sana terdapat syari’at yang memerintah di atas kehendak dan kemauan manusia, maka yang demikian itu sebagai pukulan telak terhadap isi dan substansi sekarang gambarannya sudah menjadi jelas dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Fahmi Huwaidi dan alirannya? Saya sependapat dengan mereka dalam setiap ketentuan, batasan dan bingkai yang diberikan oleh Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi bagi politik masyarakat muslim, tetapi kesalahan mendasar adalah mereka menolak -dan saya tidak tahu mengapa- kecuali dengan meletakkan simbol demokrasi pada manhaj Allah dan sistem politik Islam. Apakah mereka menyangka, bahwa mereka telah memperindah Islam dan manhajnya dengan tindakannya meletakkan slogan hasil impor dari Barat ini?Sesungguhnya Islam, wahai para sahabatku, lebih baik, lebih tinggi, suci dan lebih lurus dari demokrasi dan dari segala konsep buatan manusia untuk mengatur politik masyarakat. Demi Allah, saya katakan itu tidak hanya sekedar untuk membela agama, atau sekedar militansi iman, tetapi yang demikian itu merupakan keyakinan yang teguh dari perjalanan panjang selama melakukan kajian, pertimbangan dan perenungan perhatian terhadap ber­bagai perubahan sejarah kemanusiaan terdahulu maupun modern sekarang sekalian, sesungguhnya dengan demikian itu kalian telah menimbulkan kegoncangan, keraguan dan kerancuan berpikir dalam otak dan hati nurani generasi muda pemegang panji kebang­kitan Islam yang diharapkan kalian tidak mencari suatu pemikiran orisinil konstruktif yang berasal dari Islam, yang dengannya kalian membina proyek Islam yang fundamental untuk kebangkitan dan untuk mengatur aktivitas sosial Islami yang baru? Apakah tugas seorang ahli fiqih atau pemikir muslim sekarang ini harus menunggu produk dari Barat, baik pemikiran maupun materi, untuk ditempelinya dengan label tradisional “Disembelih dengan cara Islami?”Wahai saudaraku, apakah Islam tidak mengenal sistem, masyarakat, peradaban, teori-teori politik dan pola-pola manajemen sebelum munculnya demokrasi? Dan apakah Islam serta masyarakat­nya tidak mengetahui keadilan, kasih sayang, kebebasan, pencerahan, peradaban, permusyawaratan, pluralitas pemikiran dan paham, dan lain-lainnya, sebelum menculnya demokrasi?Jika Islam mengetahui semuanya itu, maka beritahukan hal itu kepada kami, lalu kembalikan bentuk dan formatnya, lalu kembangkanlah sistem dan kelembagaan, telitilah aturan-aturan dan sarana untuk merealisasikannya, serta lahirkanlah apa yang kalian butuhkan darinya berupa istilah-istilah orisinil dan simbol-simbol Islami, yang mengekspresikan keistimewaan manhaj Islam dalam pemerintahan, daripada melakukan penjiplakan pemikiran, paham, dan istilah yang hina dan memalukan di hadapan kancah pemikiran Eropa Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, demokrasi dan sekularisme merupakan dua sisi mata uang Eropa. Orang yang mengatakan selain itu kepada Anda, berarti dia telah membohongi Anda. Dalam pandangan Islam, kedua hal tersebut demokrasi dan sekularisme ditolak. Tetapi penolakan terhadap keduanya tidak berarti kita menolak sebagian dari produknya yang hampir menyerupai nilai-nilai Islam. Merupakan hak rakyat untuk memilih pemimpin atau penguasa dan hak mereka pula untuk melengserkannya jika menyimpang, atau mempertanyakan kepadanya jika melakukan kesalahan, juga mempunyai kebebasan berpendapat, hak berbeda pendapat, menjaga kehormatan manusia, hak perputaran kekuasaan, dan lain-lainnya. Semuanya itu merupakan pilar pilar pokok manhaj Islam dalam pemerintahan yang ditetapkan melalui nash Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, akan tetapi semuanya itu merupakan pilar-pilar yang berdiri di atas dasar-dasar idealis dan aqidah, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan dan bingkai-­bingkai sistematis, yang berbeda total dari dasar-dasar dan ketentuan-­ketentuan yang dimainkan oleh demokrasi sebagai sistem bagi politik masyarakat Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, bukan itu peranan Anda dan bukan itu pula problema Anda, semuanya itu merupakan tindakan ninabobo yang dimunculkan oleh para propagandis pencerahan yang mempunyai pemikiran berlebihan, yang mereka tidak mengemban tanggung jawab dan kebangkitan umat, mereka tidak mengetahui nilai agama mereka, juga tidak memahami bahwa mereka mengemban risalah Islam bagi seluruh alam Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, fatwa Anda telah menyebar ke seluruh belahan bumi, yang telah dibaca dan diketahui oleh sebagian besar kaum terpelajar. Saya meminta kepada Anda dengan penuh kesungguhan, “agar Anda menjelaskannya bagi umat manusia dan tidak menyembunyikannya,” supaya mencermati kembali apa yang telah Anda tetapkan dalam masalah ini. Jika Anda mendapatkan kesalahan pada fatwa Anda, maka jelaskan kesalahan itu kepada umat manusia. Anda mestinya lebih adil daripada sekedar menolak kebenaran jika Anda mengetahuinya. Jika apa yang saya katakan itu salah atau menyimpang, Jelaskanlah kepada saya dan kepada umat manusia, mudah-mudahan Allah memberikan kita petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini. Segala puji bagi Allah pada permulaan dan akhirnya, dan tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata”[13]Perlu penulis katakan “Oleh karena Dr. Yusuf al-Qaradhawi percaya kepada demokrasi, maka sesungguhnya tidak diragukan lagi bahwa dia akan percaya terhadap segala resikonya, yaitu mun­culnya berbagai partai yang bersaing untuk kekuasaan”DR YUSUF AL-QARADHAWI MEMBOLEHKAN BERDIRINYA LEBIH DARI SATU PARTAI DI NEGARA ISLAM Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan “Pendapat saya yang telah saya suarakan dari sejak beberapa tahun yang lalu dalam berbagai ceramah umum dan pertemuan khusus adalah, bahwasanya tidak ada larangan syari’at tentang adanya lebih dari satu partai politik di negara Islam, karena larangan syari’at itu pasti membutuhkan adanya nash, dan ternyata tidak ada multi partai ini bisa jadi merupakan suatu hal yang penting pada zaman sekarang ini, sebab ia berperan sebagai katup pengaman dari kediktatoran seseorang atau kelompok tertentu yang berkuasa dan penindasannya terhadap manusia, atau hilangnya kekuatan yang mampu mengatakan “Tidak” kepada manusia atau mengatakan “tidak” atau “Mengapa?” kepada penguasa. Sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh catatan sejarah dan dibuktikan oleh persyaratan yang ditetapkan agar partai-partai mendapat legitimasi eksistensinya adalah dua hal penting, yaituHarus mengakui Islam, baik sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijtihad khusus dalam pemahamannya di bawah pancaran dasar-dasar pokok ilmiah yang telah berbuat untuk kepentingan kelompok-kelompok yang memusuhi Islam dan umatnya,. apapun nama dan dimanapun demikian, tidak ada satu partai pun boleh didirikan untuk menyeru kepada atheisme, leiberalisme atau anti agama, atau menyerang semua agama samawi secara keseluruhan, atau agama Islam pada khusunya, atau meremehkan kesucian Islam, baik itu aqidah, syari’at, Al-Qur’an maupun Nasbi Shallallahu alaihi wa sallam” [14]Perlu penulis katakan “Jika anda mensyaratkan bagi paartai-partai tersebut untuk mengakui Islam sebagai aqidah dan juga syari’at, tidak memusuhinya atau menolaknya, lalu apa alasan pendiriannya di bawah pemerintahan Islami yang menerapkan syari’at Allah? Karena tujuannya adalah satu, yaitu penerapan syari’at Allah, dan alhamdulillah, hak itu telah berhasil. Lalu, utuk apa lagi keberadaan partai-partai tersebut?Jika Dr Yusuf al-Qaradhawi mengatakan Paratai-partai ini mempunyai perbedaan cara dalam menangani dan mencari solusi bagi berbagai permasalahan beraneka ragam yang menghadang perjalanan negara Islam, baik itu yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik”Menanggapi hal tersebut, dapat penulis katakan “Bahwa hal tersebut tidak mengharuskan pendirian partai-partai yang saling bertentangan yang masing-masing berusaha dengan segala macam cara untuk sampai pada kekuasaan. Cukup didirikan suatu majelis permusyawaratan yang bisa mencarikan jalan keluar yang sesuai bagi berbagai permasalahan negara”.Allah Ta’ala تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ“Dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan” [Al-Anfaal/8 46]Dia juga الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka terpecah menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka” [Al-An’aam/6 159]Partai-partai yang pendiriannya diinginkan oleh Dr Yusuf al-Qaradhawi merupakan faktor penting bagi timbulnya perpecahan umat, yang membawa dan menyebarkan beragam pertikaian dan permusuhan serta persaingan duniawi, jika tidak sampai kepada saling ungkapan Dr Yusuf al-Qaradhawi mengenai beberapa persyaratan atas berdirinya partai ”Yaitu, harus mengakui Islam sebagai aqidah maupun syari’at serta tidak memusuhi atau menolaknya, meskipun partai-partai itu mempunyai ijitihad khusus dalam pemahamannya,” maka berarti dia mengisyaratkan kepada para pelaku bid’ah dari kalangan Syi’ah Rafidhah, ibadhiyah, dan semisalnya yang akan diperkenankan mendirikan partai-partai di bawah naungan negara. Dr Yusuf al-Qaradhawi akan menutup mata dari bid’ah yang mereka buat dan perbedaan mereka terhadap yang anda kira, wagau saudaraku, ketika pemerintahan negara Islam dipegang oleh partai penganut Syi’ah Rafidhah, dan apa akibatnya yang akan timbul karenanya?Sudah pasti akan terjadi seperti apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Syi’ah Rafidhah, jika mereka sudah menduduki jabatan, maka mereka akan mengangkat kaum kafir sebagai pemimpin dan memusuhi setiap orang muslim yang tidak sejalan dengan pendapat mereka” [15]Perlu penulis katakan “Bagi yang ingin mendapatkan tambahan informasi tentang berbagai dampak buruk dari pendirian partai-partai di negeri Islam, maka hendaklah dia membaca risalah Hukmul Intimaa, karya Syaikh Bakr Abu Zaid dan risalah Al-Hizbiyyah Maa Lahaa wa Maa Alaiha, karya Syaikh Abdul Majd Ar-Riimi.[Disalin dari kitab Al-Qaradhaawiy Fiil-Miizaan, Penulis Sulaiman bin Shalih Al-Khurasyi, Edisi Indonesia Pemikiran Dr. Yusuf al-Qaradhawi Dalam Timbangan, Penerjemah M. Abdul Ghoffar, Penerbit Pustaka Imam Asy-syafi’i, Po Box 147 Bogor 16001, Cetakan Pertama Dzulqa’dah 1423 H/Januari 2003] _______ Footnote [1]. Al-Huluul al Mustaurida hal. 77, 78. [2]. Fataazva’Mu’aashirah II/637. [3]. Ibid II/643. [4]. Ibid II/644-645 [5]. Ibid II/646. [6]. HR. At-Tirmidzi, dalam al-Fitan dari `Umar 2166. [7]. Fataawa’ Mu’aashirah II/647-648. [8]. Ibid II/649. [9]. Ibid II/649. [10]. Ibid II/650. [11]. Ibid II/650. [12]. Bagi yang berminat menambah pengetahuan tentang masalah demokrasi ini sekallgus mengetahui sisi-sisi negatif dan keburukannya, hendaklah ia mem­baca risalah al-Islamiyyuun wa Saraabud Demoqrathiyyah karya `Abdul Ghani telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Fenomena Demokrasi, Studi Analisis Perpolitikan Dunia Islam oleh Abdul Ghany bin Muhammad Ar-rahhal -ed, Haqiiqatud Demoqrathiyyah karya Muhammad Syakir asy-Syarif, ad-Demoqra­thryyah fil Miizaan karya Sa’id Abdul Azhim dan Khamsuuna Mafsadah jaliyyah min Mafasidid Demoqrathiyyah karya `Abdul Majid ar-Riimi. [13]. Jihaaduna ats-Tsaqafi 54-65. [14]. Fatawa Mu’aashirah II/652-653 [15]. Minhajus Sunnah IV/537 Ketiga pendapat Ali Ash-Shabuni bahwa ulama adalah orang yang rasa takutnya kepada sangat mendalam dikarenakan ma’rifatnya. Keempat, menurut Ibnu Katsir yang menyebutkan ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnya kepada Allah sehingga mereka takut kepadanya. Jika ma’rifatnya sudah mendalam, maka sempurnalah takut kepada Allah. Abstract Kedudukan demokrasi di Indonesia sangatlah penting, terlebih demokrasi dijadikan sebagai cara bukan sebuah tujuan. Tujuan bangsa Indonesia adalah untuk merdeka, dengan cara demokratisasi diharapkan dapat menyamakan derajat dan kedudukan warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan lain-lain. Demokrasi merupakan salah satu ajaran dalam al-Qur'an, terutama pada masalah pemerintahan. All-Qur'an memberikan berbagai macam aturan dan prinsip sebagai landasan demokrasi yang kemudian diimplementasikan di Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengertian demokrasi, demokrasi di Indonesia, pandangan ulama tentang demokrasi, demokrasi menurut al-Qur'an dan kemudian implementasinya di negara Indonesia. Adapun kesimpulan dari penulisan ini, demokrasi merupakan satu-satunya cara yang paling dekat dengan Islam, tentunya dengan berladasan pada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur'an. Demokrasi ini dapat mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi dalam segala kehidupan, seperti halnya yang telah diterapkan Rasulullah pada masyarakat Madinah yang tercantum dalam piagam Madinah. Sebagaimana negara Indonesia sudah melakukan demokratisasi walaupun belum sepenuhnya sampai tahap akhir.
Halitu menurut Gus Dur berdasarkan tiga alasan. 1. Islam adalah agama hukum. Artinya, ajaran Islam berlaku bagi semua orang tanpa pandang bulu, baik yang bersifat pemangku jabatan tertinggi maupun rakyat jelata. Bahkan Kanjeng Nabi sendiri tidak akan segan menghukum meskipun itu adalah putrinya yang bernama Fathimah.
- Demokrasi adalah satu dari sekian sistem pemerintahan yang berkembang dan digunakan di banyak negara saat ini. Dalam sistem demokrasi, semua warga negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan. Seperti halnya arti kata demokrasi itu sendiri yang berasal dari Bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara bahasa demos-cratein atau demos-cratos demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahnnya kedaulatan berada ditangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Biasa diartikan demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sedangkan dalam pemerintahan islam dalam mengambil keputusan di kenal dengan istilah musyawarah. Musyawarah menurut Al-Asfahani dapat dilihat dari kata al-Tasyawur, al-Musyawarah dan al-Masyurah, yang berarti mengemukakan pendapat dengan mengambil pertimbangan dari orang lain. Sedangkan Ahmad Muhyiddin al-Ajuz berpendapat bahwa musyawarah yaitu dapat menghasilkan suatu keputusan yang baik dan dapat membuat kemaslahatan umat manusia dengan cara pertukaran pendapat. Ulama’ memiliki pandangan yang berbeda dalam menyikapi konsep demokrasi yaitu ada yang menerima dan ada juga yang menolak. Menurut Yusuf al-Qardhawi dalam Islam demokrasi dan musyawarah mempunyai kesamaan antara lain yaitu demokrasi memberikan bentuk dan beberapa sistem yang praktis untuk meminta pendapat rakyat dan kebebasan berpendapat yang mana hal tersebut juga termasuk bagian penting dalam musyawarah. Jika ditelusuri kata musyawarah dan demokrasi memiliki perbedaan yang mendasar. Konsep musyawarah telah dikenal dan diterapkan oleh seluruh umat muslim, karena ia merupakan tuntunan yang telah diajarkan agama islam. Sedangkan konsep demokrasi yang mencetuskan dan yang mengenalkan adalah orang barat, selain itu demokrasi tidak diterapkan pada semua negara. Kedua istilah ini memang berbeda, akan tetapi memiliki kesamaan diantaranya yaitu Dalam sistem demokrasi dan musyawarah hakikatnya tidak dibatasi peraturan dan ikatan norma hukum yaitu berupa derajat yang sama, adanya kebebasan dalam berfikir, kebebasan memeluk agama dan adanya keadilan sosial. Dalam musyawarah dan demokrasi rakyat memiliki hak dan kebebasan dalam memilih wakilnya untuk menentukan kebijakan bersama dengan pemimpin yang dipilihnya. Yang mana dalam hal ini demokrasi dan musyawarah memberikan dan membuka kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta membuat keputusan yang akan disepakati. Pada dasarnya tetap tidak diperbolehkan melakukan penyimpangan dari kemaslahatan umat pada konsep demokrasi dan musyawarah,karena hasil dari keputusan yang telah diputuskan semuanya untuk kepentingan bersama. Demokrasi ini mempunyai titik kesamaan dengan konsep musyawarah yang dikenal dalam Islam, yaitu rakyat mempunyai hak ikut serta dalam menentukan kebijkan yang diambil oleh negara. Musyawarah sudah ada sejak pra Islam karena sudah menjadi tradisi secara turun-menurun. Majlis, mala, dan nadi merupakan suatu lembaga, dewan atau badan yang ada sebelum orang-orang Arab masuk Islam. Dalam lembaga tersebut orang-orang Arab melakukan musyawarah dan menentukan kepala pemerintahan dengan tujuan persoalan-persoalan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Kemudian Islam mempertahankan tradisi ini, karena musyawarah merupakan sebuah fitrah manusia sebagai makhluk yang sosial-politik. Lembaga musyawarah pra Islam yang dilandasi dengan suku atau darah diubah oleh Islam menjadi lembaga musyawarah sebagai institusi komunitas ummah yang mengutamakan prinsip hubungan iman. Ketika nabi Muhammad hijrah ke Yastrib, demokrasi musyawarah semakin mendapat tempat ditengah-tengah masyarakat karena dikota ini kesepakatan ini telah dibuat oleh nabi Muhammad. Dan perjanjian tersebut bernama mitsaq al Madinah konstitusi atau piagam Madinah. Setelah dua hari nabi wafat, kebiasaan demokrasi musyawarah ini tetap berjalan sampai dengan pengangkatan khalifah Abu Bakar as-Sidiq sampai dengan sahabat-sahabat setelahnya. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab bahkan pembagian kekuasaan itu sudah terjadi. Dalam sejarah bahwa khalifah Umar bin Khattab misalnya menunjuk beberapa orang sahabat Nabi saw. untuk bertanggung jawab menjadi kadi qâdhî di beberapa daerah seperti Zaid bin Tsabit dan Abu Darda’ di Madinah, Abdullah bin Mas’ud di Kufah, dan lain-lain. Itu artinya, Umar sudah memisahkan kekuasaan yudikatif dari kekuasaan eksekutif dalam batas-batas kondisi zaman itu. Pandangan Tokoh Islam Tentang Demokrasi Abul A’la Al-Maududi Beliau adalah tokoh ulama yang menolak dengan tegas suatu demokrasi dalam negara. Islam tidak memberikan kekuasaan penuh pada rakyat untuk memutuskan sesuatu. Islam menggunakan dalil yang kuat dalam memutuskan suatu masalah, atau perkara yang muncul dalam suatu pemerintahan. Lain hal nya dengan demokrasi yang hukumnya dibuat oleh manusia sehingga cenderung bersifat sekuler. Muhammad Imarah Beliau adalah tokoh yang tidak menerima demokrasi dengan tegas dan juga tidak menyetuji adanya sistem demokrasi pada suatu negara. Demokrasi adalah sebuah sistem kekuasaan yang membuat atau menetapkan hukum di tangan manusia rakyat. Hal ini sangat bertentangan dalam sistem pemerintahan islam yang sudah dibuat dan di tetapkan Allah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Salim Ali Al-Bahnasawi Menurut beliau demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan yang memiliki sisi baik yang tidak bertentangan dengan islam. Sisi baik dalam sistem demokrasi ialah adanya suatu kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sisi buruk demokrasi adalah adanya penggunaan hak legislatif yang bebas dan bisa mengarah pada suatu sikap yang menghalalkan sesuatu yang haram. Beliau juga menawarkan suatu sistem demokrasi yang islami atau sesuai dengan ajaran islam yang ada. Memberikan tanggung jawab untuk setiap individu Allah. Seorang wakil rakyat harus memiliki suatu sifat yang sesuai dengan Akhlak Dalam Islam, baik dalam menjalankan tugas-tugas dan kewajibannya. Suatu komitmen dalam islam hanya boleh diputuskan orang-orang yang berakhlak dan bertanggung jawab. Banyaknya pendukung bukanlah suatu keputusan yang mutlak dalam menentukan sesuatu, dan hukum tersebut tidak ditemukan dalam Sunnah dan Al-Qur’an dalam surat Annisa ayat 59 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur’an dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Yusuf al-Qardhawi. Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut a Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. b Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. c Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. d Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. e Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. Wallahu a’lam Bishawab MuhammadZukhrufus Surur, “Demokrasi Dalam Surat Ali Imran Ayat ”. Penelitian ini membahas tentang interpretasi Abdullah Saeed atas teks-teks tentang etika-hukum dalam Alquran, salah satu di antaranya yang dipilih peneliti adalah tema mengenai politik, yakni syura (musyawarah). Interpretasi yang
Abstrak Akhlak mulia Rasulullah terlahir diturunkan kepada para sahabat kemudian di lanjutkan oleh para tabi’in dan hingga saat ini ulama-ulama yang berkompeten terhadap ajarannya sehingga memunculkan contoh dan akhlak yang baik, bahkan mendapatkan kepercayaan terhadap masyarakat tentang keilmuannya untuk menyampaikan dakwah yang terdapat dalam kisah-kisah yang telah dituliskan dalam kitab-kitab terdahulu. Penelitian ini Akan melihat bagaimana pandangan Politik dalam Islam menurut Syekh Al utsaimin, diantaranya bagaimana beliau memberikan penjelasan yang kaitannya dengan tahapan dalam menentukan pemimpin yang baik. Tujuan penelitian Mengetahui pandangan demokrasi politik syekh al-Utsaimin. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan library research.penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik dokumentar. Syaikh Al-Utsaimin fatwanya tersebut mengenai pembolehan ikut serta dalam pemilu dalam as’ilah Al-Qathriyah 34. Beliau menyatakan dan memfatwakan bahwa memang benar, juga memang semestinya demikian, karna bila suara kaum muslimin hilang artinya majlis parlemen akan murni menjadi milik pelaku keburukan. Dan bila kaum muslimin ikut serta dalam pemilu, mereka hendaknya memilih orang yang mereka pandang layak. Sehingga akan timbul kebaikan dan keberkahan. Syekh utsaimin tidak menjadikan demokrasi sebagai media dakwahnya, karna di Negara nya sendiri tidak menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahan akan tetapi menganut sistem pemerintahan monarki atau kerajaan. Abstract the tabi'in and until now scholars who are competent in their teachings so that they raise good examples and morals, even gain the trust of the public about their knowledge to convey the da'wah contained in the stories that have been written in previous books. This study will see how the views of politics in Islam according to Sheikh Al Utsaimin, including how he provides an explanation related to the stages in determining a good leader. The purpose of this research is to know the views of Sheikh al-'Utsaimin's political democracy. In writing this thesis, the author uses the type of library research library research. The research used is a qualitative approach, the data collection technique used is a documentary technique. Shaykh Al-Utsaimin said his fatwa was regarding the possibility of participating in elections in as'ilah Al-Qathriyah 34. He stated and made a fatwa that it was true, and it should be, because if the voices of the Muslims were lost, it would mean that the parliamentary assembly would be purely the property of the perpetrators of evil. And when Muslims take part in elections, they should vote for people they deem worthy. So there will be goodness and blessings. Sheikh Utsaimin did not use democracy as his propaganda medium, because in his own country he did not implement democracy as a government system but adhered to a monarchical or royal government system. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the author.... In this case, democracy in the view of Islam is seen as essential to maintain the maqosid of sharia, such as hifdzuddin religion, hifzulmaal wealth, hifzunnafs soul, hifzunnasl gene ration of descendants, and hifzil 'irdh maintaining honor, as well as its relation to voting. leaders Subakti, Kamalludin, & Anggrayni, 2021. ...Ahmad ZuhdiThis study aims to analyze the role of da'wah as the actualization of the role of religion in democratic behavior. Specifically, the research is focused on exploring the actualization of Islamic values in democratic behavior in Indonesia. The researcher tries to describe the dimensions of state da'wah, especially its relation to democracy. This research was conducted with a qualitative approach through a literature study. The results show that the existence of a state daula in people's lives is an essential entity to build a collective moral order. The role of religion supports Islamic da'wah activism, which is carried out both with a cultural and structural approach. Islamic da'wah activities are carried out to control democratic behavior in the administration of a country's government. State da'wah activities are carried out to embody Amar maruf nahi munkar. Efforts to implement Islamic da'wah in applying the principles of state democracy must function as a social control over state administrators to always pay attention to the mandate of their HusnaPengembangan mutu lembaga Pendidikan Islam salah satunya akan sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan yang dikembangkan oleh individu dalam memimpin lembaga pendidikan Islam. Kepemimpinan islami memiliki beberapa ciri khas yang dapat digunakan pemimpin lembaga pendidikan Islam dalam melakukan tugas Islami merupakan keseimbangan antara kepemimpinan dengan konsep duniawi maupun konsep ukhrawi, menggapai tujuan hakiki lebih dari sekedar tujuan organisasi yang bersifat sementara, menuntut komitmen tinggi kepada prinsip-prinsip Islam dan menempatkan tugas kepemimpinan tidak sekedar tugas kemanusiaan yang dipertanggungjawabkan hanya kepada anggota, tetapi juga di hadapan Allah mutu lembaga pendidikan Islam salah satunya akan sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan yang dikembangkan oleh individu dalam memimpin lembaga pendidikan Kunci Kepemimpinan, mutu dan Pendidikan IslamLukas Sugeng MusiantoQuantitative and qualitative methods are most different, especially in their axioms and their characteristics. In the past, they were separate from each other. This paper analyzes those differences so that in the future, comprehensive methods such as envisioned by Brennan allow the two types of methodologies to be used together in research. In the past, because of the differences in the two methods, especially in basic concepts and aspects, usually only the quantitative or qualitative method was used. The situation in universities in Indonesia shows that the qualitative method is a relatively new approach and that until now, most research has been applied quantitative research, since there are few experts in the qualitative method. Abstract in Bahasa Indonesia Metode kuantitatif dan kualitatif memang berbeda, terutama dalam axioma dan cirri-cirinya. Pada masa lalu, kedua metode tersebut dipisahkan. Artikel ini menganlisa tentang perbedaan-perbedaan tersebut, agar pada masa depan, metode yang menyeluruh seperti yang diusulkan oleh Brennan dapat dikembangkan bersama dalam penelitian. Pada masa lalu juga, oleh karena berbagai perbedaan yang ada antara dua metode, terutama dari segi konsep-konsep dasar serta berbagai aspek dari masing-masing metode, maka biasanya hanya salah satu pendekatan digunakan dalam penelitian. Keadaan dalam universitas-universitas di Indonesia menunjukkan bahwa metode kualitatif menjadi pendekatan yang relative lebih baru dan sampai sekarang, sebagian besar penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif karena jumlah orang yang sungguh memahami metode kualtitatif masih sedikit. Kata kunci metode kualitatif, metode Nur 'AfifahKedudukan demokrasi di Indonesia sangatlah penting, terlebih demokrasi dijadikan sebagai cara bukan sebuah tujuan. Tujuan bangsa Indonesia adalah untuk merdeka, dengan cara demokratisasi diharapkan dapat menyamakan derajat dan kedudukan warga negara di muka undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan lain-lain. Demokrasi merupakan salah satu ajaran dalam al-Qur’an, terutama pada masalah pemerintahan. All-Qur’an memberikan berbagai macam aturan dan prinsip sebagai landasan demokrasi yang kemudian diimplementasikan di Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas mengenai pengertian demokrasi, demokrasi di Indonesia, pandangan ulama tentang demokrasi, demokrasi menurut al-Qur’an dan kemudian implementasinya di negara Indonesia. Adapun kesimpulan dari penulisan ini, demokrasi merupakan satu-satunya cara yang paling dekat dengan Islam, tentunya dengan berladasan pada prinsip-prinsip yang ada dalam al-Qur’an. Demokrasi ini dapat mengejawantahkan nilai-nilai Ilahi dalam segala kehidupan, seperti halnya yang telah diterapkan Rasulullah pada masyarakat Madinah yang tercantum dalam piagam Madinah. Sebagaimana negara Indonesia sudah melakukan demokratisasi walaupun belum sepenuhnya sampai tahap under capacity solo PT. Era Adicitra Intermedia Latief, mohammadV Daftar Pustaka Al-'utsaiminV. DAFTAR PUSTAKA Al-'utsaimin 2019, Politik Islam. jakarta timurGriya ilmu Ridha, Abu. 2018, Politik Tegak Lurus, soloPT. Era Adicitra Intermedia Ma'arif, A. S. 2018, Islam dan Politik, yogyakarta pustaka dinamika Ridha, Abu. 2018, politik under capacity solo PT. Era Adicitra Intermedia Latief, mohammad. 2017, islam dan sekularisasi politik di indonesia, dalam tsaqafah jurnal peradaban islam, gontorstudy komparasi pemilihan kepala negara menurut fiqih siyasah dan hukum tata negara indonesia" fakultas syariah dan ilmu hukum, institut agama islam negeri padangsidimpuan abdurrazaq, sulais. dan abdurrazaq, hadiriSarianniSarianni, 2018 "study komparasi pemilihan kepala negara menurut fiqih siyasah dan hukum tata negara indonesia" fakultas syariah dan ilmu hukum, institut agama islam negeri padangsidimpuan abdurrazaq, sulais. dan abdurrazaq, hadiri. 2017, "Membaca Ulang DEMOKRASI KITA" PamekasanCV. DUTA MEDIA Sakinah, Dewi "Metode Dakwah Bil lisan Ustadz Khairul Anam Studi Program Mobile Quran Di Program Pembibitan Penghafal Al-Quran PPPA Darul Quran Surabaya", Kearsipan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya, 2018metode dakwah dalam penyampaian pesan islam bagi sisawa penyandang tunarungu disekolah luar biasa SLB wiyata darma metro lampung" fakultas dakwah dan ilmu komunikasi, universitas negri islam uin raden intan lampungL Andrajatiandrajati, "metode dakwah dalam penyampaian pesan islam bagi sisawa penyandang tunarungu disekolah luar biasa SLB wiyata darma metro lampung" fakultas dakwah dan ilmu komunikasi, universitas negri islam uin raden intan lampung, 2018. Skripsi Choiri, Muhammad "Relevansi Pemikiran Konsep Negara Ideal Menurut Abul A'la Al-Maududi" kearsipan Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas Islam Negri Sumatera Utara, 2016. saputra, A2019. Hukum mengucapkan selamat natal kepada non muslim study komparatif pandangan syaikh utsaimin dan syaikh al-qardawi. Skripsi di terbitkan. Jambi universitas islam negeri sulthan thaha saifuddin Agama dan Pengembangan untuk Bangsa, Jakarta PT Raja Grafindo PersadaSholeh Abdul RahmanAbdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk Bangsa, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, PT Remaja RosdakaryaJ LexyMetodologi MoleongPenelitian KualitatifLexy J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2011. Raco, Metodologi Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya, Jakarta Kompas BunginBurhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial Format-Format Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya UNAIR Press, 2001. Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2009.
DiIndonesia, sejak 1980-an itu, para ulama yang tergabung di Nahdlatul Ulama (NU) memperlihatkan vitalitas agama dalam memberikan fundamen bagi Pancasila, ideologi negara Indonesia. Diputuskan dalam Munas Alim Ulama 1983, mereka merumuskan formulasi mengenai relasi Islam dan Pancasila. Secara garis besar, pandangan para ulama/cendekiawan muslim tentang demokrasi terbagi menjadi dua pandangan utama, yaitu pertama, menolak sepenuhnya, kedua, menerima dengan syarat tertentu. Berikut ditamplkan ulama yang mewakili kedua pendapat tersebut Pandangan Ulama Intelektual Muslim tentang Demokrasi 1. Abul A’la Al-Maududi Al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern Barat merupakan sesuatu yang bersifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi berdasarkan hukum Tuhan. 2. Mohammad Iqbal Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich, seperti yang dipraktekkan di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut a Tauhid sebagai landasan asasi. b Kepatuhan pada hukum. c Toleransi sesama warga. d Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. e Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad. Baca Juga Memahami Makna, Hikmah, Hakikat Beriman kepada Hari Akhir Memahami Makna, Ayat, dan Hadis Larangan Pergaulan Bebas dan Zina Kisah Dua Malaikat Pencuci Hati Nabi 3. Muhammad Imarah Menurut Imarah, Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif membuat dan menetapkan hukum secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura Islam kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah Swt.. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah Swt.. Jadi, Allah Swt. berposisi sebagai al-Syâri’ legislator sementara manusia berposisi sebagai faqîh yang memahami dan menjabarkan hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Dia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah Swt. pemegang otoritas tersebut. Allah berfirman “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. 4. Yusuf al-Qardhawi Menurut Al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya sebagaimana berikut Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam salat yang tidak disukai oleh ma'mum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma'ruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah Swt. untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka, yaitu Abdullah ibnu Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam. 5. Salim Ali al-Bahasnawi Menurut Salim Ali al-Bahasnawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi sebagai berikut Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah Swt.. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugastugas lainnya Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam al-qur'an dan Sunnah dan Komitmen terhadap Islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen. Menerapkan Perilaku Mulia Perilaku demokratis yang harus dibiasakan sebagai implementasi dari ayat dan hadis yang telah dibahas antara lain sebagai berikut 1. Bersikap lemah lembut jika hendak menyampaikan pendapat tidak berkata kasar ataupun bersikap keras kepala 2. Menghargai pendapat orang lain 3. Berlapang dada untuk saling memaafkan 4. Memohonkan ampun untuk saudara-saudara yang bersalah 5. Menerima keputusan bersama hasil musyawarah dengan ikhlas 6. Melaksanakan keputusan-keputusan musyawarah dengan tawakal 7. Senantiasa bermusyarawarah tentang hal-hal yang menyangkut kemaslahatan bersama 8. Menolak segala bentuk diskriminasi atas nama apapun 9. Berperan aktif dalam bidang politik sebagai bentuk partisipasi dalam membangun bangsa Baca Juga yuk 8 Tahap Periode Hari Akhir Yang Harus Kamu Ketahui Jenis Dan Keutamaan Ibadah Haji Memahami Makna Pengendalian Diri, Prasangka Baik, Husnużżan dan Persaudaraan Artikel Terkait Perilaku Rasulullah SAW Yang Harus Diteladani Saat Berdakwah di Mekah Pengertian dan Macam Macam Qada' dan Qadar Masuknya Islam ke Nusantara Indonesia Adab Ketika Ta’ziyyah dan Ziarah Kubur Tips Dari Dahsyatnya Persatuan Dalam Ibadah Haji PandanganUlama terhadap Demokrasi Memang terdapat perbedaan di kalangan pemikir politik Islam dalam menyikapi konsep Demokrasi dalam wacana partai politik dan negara Islam. Kalangan yang menerima demokrasi berpandangan bahwa hal itu bukan sebagai problem yang harus dipermasalahkan. PandanganUlama Tentang Wajibnya Khilafah Para ulama sepakat akan wajibnya mendirikan khilafah. Muhammad bin al-Mubarrak berpendapat: “Al-Quran mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam) yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu. Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan .
  • 4reengwdu0.pages.dev/560
  • 4reengwdu0.pages.dev/487
  • 4reengwdu0.pages.dev/250
  • 4reengwdu0.pages.dev/688
  • 4reengwdu0.pages.dev/785
  • 4reengwdu0.pages.dev/126
  • 4reengwdu0.pages.dev/676
  • 4reengwdu0.pages.dev/828
  • 4reengwdu0.pages.dev/641
  • 4reengwdu0.pages.dev/552
  • 4reengwdu0.pages.dev/6
  • 4reengwdu0.pages.dev/84
  • 4reengwdu0.pages.dev/583
  • 4reengwdu0.pages.dev/571
  • 4reengwdu0.pages.dev/253
  • pandangan ulama tentang demokrasi